Sabtu, 23 November 2024

Dukung Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19, Ginsi Jatim Sosialisasikan Revisi Aturan Post Border

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Keterangan foto: (dari kiri ke kanan) Veri Angrijono, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan. Romzy Abdullah Abad, Ketua GINSI Jawa timur. Hengky Pratoko, ketua Forum Komunikasi Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak. Foto: Istimewa

Gabungan Importir Nasional Indonesia (Ginsi) Jawa Timur berupaya menjembatani para importir dengan pemerintah terkait sejumlah kebijakan baru hingga problem yang mereka rasakan, khususnya di masa pandemi dengan melaksanakan sosialisasi tentang Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 51/2020, sebagai revisi Permendag No. 28/2018.

Romzy Abdullah Abad Ketua Ginsi Jatim mengatakan, aturan tentang pemeriksaan dan pengawasan tata niaga impor setelah kawasan pabean atau post border adalah aturan yang diberlakukan untuk mempermudah pelaku usaha, khususnya importir. Dan itu harus dilaksanakan melalui kewajiban Persetujuan Impor (PI).

“Oleh karena itu impor harus mencantumkan  data yang terdiri dari nomor, dari, tanggal atas dokumen  PI . Namun dalam pelaksanaannya untuk memperoleh PI, para pelaku usaha banyak menghadapi kendala atau harus menunggu dalam waktu sangat lama. Lebih khusus untuk komoditi besi atau baja, brondong dan turunannya,” ujar Romzy saat melakukan sosialisasi dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (18/11/2020).

Dan untuk mendapat PI tersebut, importir harus mendapat pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian yang lebih sulit lagi untuk mendapatkannya. Dampaknya, banyak importir  yang mengalami kekurangan bahan baku. Bahkan banyak juga di antara mereka yang terpaksa menghentikan proses produksi.

“Mengingat besarnya ketergantungan terhadap bahan baku asal impor karena tidak diperoleh di dalam negeri. Kesulitan pengusaha untuk mengimpor barang tertentu terutama bahan baku mengakibatkan turunnya volume ekspor, menurunkan daya saing produk dalam negeri serta menurunkan pendapatan negara dari sektor bea masuk dan sektor jasa kepelabuhanan,” terang Romzy.

Untuk itulah, pemerintah memberikan kemudahan melalui aturan Post Border. Tetapi karena ada cela, banyak pengusaha yang justru memanfaatkan aturan ini sehingga pemerintah akhirnya melakukan pengetatan pengawasan melalui revisi Permendag nomor 28/2018. “Aturan ini harus dipahami oleh pengusaha importir karena sebenarnya  revisi aturan ini tidak mempersulit,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Veri Anggrijono Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan mengatakan dengan terbitnya revisi tersebut, prosedur pemeriksaan dan pengawasan tata niaga impor dengan meniadakan persyaratan deklarasi mandiri (self declaration) akan diperketat. Ini sebagai konsekuensi atas kemudahan yang telah diberikan.

“Mekanisme post border bertujuan mempermudah pelaku usaha dalam tata niaga impor. Namun, sebagai konsekuensinya Kementerian Perdagangan akan memperketat pengawasan barang impor setelah melalui kawasan pabean,” tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, Covid-19 telah mengakibatkan turunnya transaksi banyak pelaku usaha. Untuk itulah, pemerintah menyiapkan peraturan untuk menyetabilkan pengawasan post Border. “Memberi kemudahan bagi pengusaha tetapi tidak menghilangkan kewajiban mereka. Jika dahulu kekurangan beberapa dokumen mengakibatkan barang tertahan di pelabuhan sehingga kena biaya gudang. Ini bisa dikeluarkan dan disimpan di gudang importir tapi dengan syarat barang tidak diperjual belikan dahulu. Baru bisa dijual saat sudah memenuhi persyaratan,” terangnya.

Secara teknis, terangnya, proses self declaration yang dicabut tersebut akan diganti dengan kewajiban pemenuhan persyaratan impor lainnya, yaitu mencantumkan data persyaratan impor dalam dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) berupa nomor dan tanggal atas dokumen PI dan/atau laporan surveyor (LS). Dokumen tersebut, akan disesuaikan dengan masing-masing larangan atau pembatasan (lartas) impor pada masing-masing komoditas yang diatur oleh Permendag lainnya.

Permendag No. 51/2020 juga memuat sanksi untuk pelaku usaha yang tidak atau salah mencantumkan data persyaratan impor dalam PIB, dan/atau mencantumkan jumlah atau volume impor barang dalam PIB yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan dalam PI dan atau LS. Sanksi yang dikenakan berupa sanksi administratif. Kemendag bersama kementerian dan lembaga teknis lainnya juga akan terus memantau potensi pelanggaran di post border yang dilakukan pelaku usaha.

Hengky Pratoko Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak menegaskan bahwa bahwa kebangkitan ekonomi harus terus digelorakan agar recovery ekonomi pasca covid bisa bergerak lebih cepat. Karena lambatnya proses pemulihan ekonomi ini berdampak negatif terhadap mahalnya biaya distribusi barang dari luar negeri, utamanya Tiongkok.

“Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan delegasi dari Hongkong. Saya bertanya kenapa akhir-akhir ini cost rates (biaya perjalanan red.) naik 300 persen hingga 400 persen. Ini ternyata karena mereka menganggap recovery ekonomi Indonesia ini lambat,” terangnya.

Mereka, lanjut Henky, sudah gencar melakukan ekspor ke Asia dan Indonesia. Tetapi karena kekhawatiran kontainer yang masuk Indonesia tidak bisa kembali dengan cepat, maka mereka menimpakan biaya tersebut kepada importir. Inilah yang kemudian membuat recovery Indonesia  berbiaya tinggi.

“Hari ini yang sangat penting, baik pemprov Jatim, Pusat dan Kadin. Kita tunjukkan bersama bahwa recovery sudah kita jalankan. Ini Akan berdampak rendahnya cost handling masuknya barang di pelabuhan. Intinya, bagaimana eksprtir dan importir membayar biaya transportasi ini dengan biaya yang kompetitif dan terjangkau,” ungkapnya. (dfn/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs