Sebanyak 10 ribu buruh dari 15 Federasi dan Konfederasi yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Jatim akan membawa sejumlah tuntutan dalam unjuk rasa Kamis (19/11/2020) besok.
Dua isu utama yang akan disampaikan buruh di depan Gerbang Kantor Gubernur Jatim Jalan Pahlawan besok adalah kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota 2021 sebesar Rp600 ribu dan penolakan UU Omnibus Law.
Jazuli juru bicara Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Jatim menjabarkan lima tuntutan buruh, besok.
1. Agar pemerintah daerah mengabaikan SE Menaker M/11/HK.04/X/2020 yang mengehendaki tidak adanya kenaikan upah minimum pada 2021. Seperti yang dilakukan Khofifah Gubernur Jatim saat menetapkan upah minimum provinsi (UMP) Jatim 2021.
2. Menaikkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di masing-masing daerah sebesar Rp. 600.000.
3. Menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) secara bersamaan, paling lambat 20 November besok.
4. Merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat, terutama Menteri Ketenagakerjaan agar merevisi Permenaker 18/2020 soal Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21/2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
5. Meminta Gubernur Jatim memperkecil disparitas upah minimum di Jawa Timur.
Jazuli mencontohkan berkaitan Permenaker 18/2020 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Buruh menganggap, secara kuantitas memang ada penambahan jumlah komponen KHL yang semula 60 item menjadi 64 item.
Namun, kata Jazuli, dari segi kualitas KHL di Permenaker itu mengalami penurunan. Contohnya untuk gula pasir yang sebelumnya dijatah 3 kilogram berkurang jadi 1,2 kilogram, minyak goreng yang tadinya 2 kilogram jadi 1,2 kilogram.
Lainnya, buah-buahan yang awalnya 7,5 kilogram menjadi 4,5 kilogram. Lalu item mukenah untuk buruh perempuan jadi hanya Al Quran/Kitab Suci. Kalau kualitas ini dikonversi jadi nominal, upah pekerja berpotensi turun sebesar Rp245 ribu.
“Yang paling tidak masuk akal adalah yang semula pembalut wanita kemudian dalam Permenaker 18/2020 diganti menjadi Cotton Buds. Gubernur Khofifah sebagai wanita harusnya peka tentang ini,” ujarnya.
Kemudian terkait SE Menaker M/11/HK.04/X/2020 yang menghendaki tidak ada kenaikan upah minimum. Dia pun meminta Gubernur dalam menetapkan UMK maupun UMSK tidak hanya memperhatikan yuridis formal semata.
“Gubernur harusnya juga memperhatikan fakta empiris di lapangan. Sepatutnya Gubernur mengabaikan SE Menaker itu karena tidak ada sejarahnya Kepala Daerah diberi sanksi karena mensejahterakan rakyat,” ujarnya.
Sedangkan berkaitan dengan penolakan terhadap Omnibus Law, aliansi serikat pekerja/buruh se-Indonesia selain melakukan serangkaian aksi unjuk rasa juga sudah mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).(den/dfn/lim)