Agus Sekarmadji Pakar Hukum Agraria dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) menilai, upaya yang telah dilakukan Pemkot Surabaya dalam menyelesaikan permasalahan Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau ‘Surat Ijo’ itu sudah tepat sesuai aturan hukum yang berlaku, khususnya aturan terkait dengan Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sebab, tanah IPT itu merupakan aset pemerintah Kota Surabaya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 16 tahun 1950.
“Nah, karena itu tanah IPT merupakan aset Pemerintah Kota Surabaya, maka pengelolaannya harus berpedoman kepada Peraturan Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah maupun Permendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang mana pada prinsipnya tidak boleh merugikan keuangan negara/daerah,” ujar Agus dalam rilis yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (12/11/2020).
Agus berpendapat, apabila ada warga/pihak yang ingin menggunakan atau memanfaatkan tanah aset tersebut, harus ada landasan hukum serta membayar kompensasi maupun retribusi. Bahkan, ketika ada warga yang ingin memiliki tanah aset tersebut, maka harus membayar uang ganti rugi dan tidak bisa diserahkan dengan cuma-cuma.
“Jika tidak membayar uang retribusi atau tidak membayar uang ganti rugi, berarti itu kan merugikan keuangan negara, dan tentu itu menabrak ketentuan dalam pengelolaan barang milik negara/daerah,” kata dia.
Oleh karena itu, kata dia jika mencari solusi penyelesaian dari surat ijo ini, maka yang bisa dilakukan adalah perlu dilakukan revisi terhadap ketentuan pengelolaan barang milik negara/daerah, terutama terkait prinsip tidak boleh merugikan keuangan negara/daerah, sebagaimana PP nomor 27 tahun 2014, Permendagri nomor 19 tahun 2016 maupun undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
“Sepanjang peraturan itu belum diubah, tentu Pemkot Surabaya tidak bisa melepaskan IPT itu tanpa ganti rugi, karena itu aset negara/daerah. Nah, jika ada pejabat yang berani melepaskan IPT itu tanpa ganti rugi, maka itu melanggar hukum, sehingga memungkinkan aparat penegak hukum untuk turun tangan. Siapapun kepala daerahnya, jika peraturan itu belum diubah, tidak mungkin bisa melakukan pelepasan aset itu dengan gratis atau tanpa ganti rugi,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan, pada Pasal 99 PP nomor 27 tahun 2014 diatur terkait Ganti Rugi dan Sanksi, sehingga Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Karenanya, Pemkot Surabaya sudah tepat tidak melepaskan aset tersebut secara cuma-cuma, karena memang sanksinya berat.
“Siapa yang berani kalau sanksinya begini? solusinya ya memang pemerintah pusat harus merubah peraturan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Maria Theresia Ekawati Rahayu Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya memastikan Pemkot Surabaya sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalah Surat Ijo tersebut. Pada prinsipnya, pemkot berupaya untuk menyelesaikan permasalahan atas tuntutan masyarakat selaku pemegang IPT (surat ijo). Namun, upaya penyelesaian yang dilakukan Pemkot Surabaya ini tidak bisa keluar dari peraturan hukum yang berlaku.
“Terhadap permasalahan izin pemakaian tanah (IPT), Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya-upaya dalam rangka penyelesaiannya, baik upaya melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Sebetulnya, pemkot juga ingin membantu masyarakat dalam menyelesaikan IPT ini. Tapi penyelesaian itu tentunya tidak boleh melanggar aturan yang lebih tinggi, supaya tidak menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari,” ujarnya. (bid/dfn/ipg)