Jumat, 22 November 2024

12 Hoax Omnibus Law Mencuat Pada Webinar FBE Ubaya

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Satu diantara file nara sumber pada webinar Fakultas Bisnis Ekonomika (FBE) Universitas Surabaya (Ubaya) mengupas Omnibus Law. Foto: Humas Ubaya

Merespon aksi demonstrasi penolakan Omnnibus Law di beberapa kota besar di Indonesia, mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya (FBE Ubaya) gelar webinar: Omnibus Law; The Game Changer For Millennials & Business, mengungkapkan 12 hoax Omnibus Law.

Webinar yang diikuti para mahasiswa fakultas Bisnis Ekonomi dan ratusan peserta dari masyarakat umum tersebut diharapkan juga memberikan wawasna baru atau mengajak mahasiswa untuk memahami makna atau keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja.

Menghadirkan dua narasumber, Drs.ec. Eko Walujo Suwardyono, M.M., Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FBE Ubaya, mengupas RUU Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja (Versi 812 Halaman): Tinjauan Ekonomi Bisnis. Sedangkan, Dr. Werner Ria Murhadi, S.E., M.M., CSA., Dosen Prodi Manajemen Ubaya, membawakan materi: UU Cipta Kerja: Perspektif Ekonomi & Bisnis.

Hampir senada, para narasumber pada webinar itu menyampaikan jika Omnibus Law tercipta didasari adanya niatan atau itikad baik Joko Widodo Presiden Republik Indonesia, guna merampingkan dan menyederhanakan berbagai regulasi agar tidak tumpang tindih.

Namun, masyarakat belum banyak yang membaca dan memaknai keseluruhan isi dari pasal-pasal Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Padahal perlu dipahami jika terciptanya Omnibus Law berdasarkan hasil pertimbangan pemerintah melihat kondisi ekonomi Indonesia di tingkat ASEAN maupun global.

Data kemudahan berusaha tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 73 dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Sedangkan dalam Global Entrepreneurship Index (GEI) Asean 2020, Indonesia meraih peringkat ke 75 di bawah Vietnam. Selain itu, Indonesia menempati peringkat 1 dalam Global Complexity Index 2020 yang artinya Indonesia memiliki birokrasi paling kompleks.

“Omnibus Law bertujuan mempermudah perizinan membuka usaha UMKM atau industri agar tidak ribet atau berbelit. Hal ini untuk menghindari terjadinya korupsi atau pungli di Indonesia. Ini saatnya Indonesia memperbaiki masa depan negara dan masyarakat untuk 20 tahun mendatang. Jangan sampai Indonesia tertinggal oleh negara-negara lain yang berlomba-lomba untuk memperbaikinya,” papar Werner, sapaan Dr. Werner Ria Murhadi, S.E., M.M., CSA., Kaprodi Magister Manajemen FBE Ubaya.

Lebih lanjut Werner menjelaskan bahwa kondisi angkatan kerja di Indonesia tahun 2020 menunjukkan 45,84 juta orang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja. Ditambah lagi, dengan 3,5 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19.

Hal ini membuat jumlah pengangguran di Indonesia semakin bertambah. Akhirnya pemerintah berusaha untuk membuka lahan investasi guna menyerap tenaga kerja bagi pengangguran atau masyarakat terdampak Covid-19.

Werner menambahkan adanya Undang-undang Cipta Kerja diharapkan dapat membantu penciptaan lapangan kerja dalam rangka memanfaatkan surplus demografik dan menghindari negara masuk dalam middle income trap.

“Tahun 2035 adalah tahun bonus demografik, jangan sampai menjadi malapetaka demografik karena banyak masyarakat yang menganggur. Seharusnya bisa menjadi tahun generasi muda bekerja dan berkarya di negeri ini,” tegas Werner.

Tetapi, lanjut Werner masyarakat saat ini memang cenderung lebih percaya terhadap isu hoax yang beredar dibandingkan dengan memeriksa isi pasal-pasal dan kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut.

Terdapat 12 hoax Undang-undang Cipta Kerja dalam Omnibus Law yang diperdebatkan oleh masyarakat. Pertama, uang pesangon dihilangkan sedangkan faktanya uang pesangon tetap ada. Kedua, Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota Kabupaten (UMK) dihapus tetapi faktanya tetap ada dengan aturan UMK lebih tinggi dari pada UMP.

Ketiga, upah buruh dihitung perjam sedangkan faktanya tidak ada perubahan dengan upah saat ini yaitu bisa dihitung perjam atau berdasarkan hasil. Keempat, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi sedangkan faktanya tetap ada waktu istirahat dan cuti.

Kelima, outsourching diganti kontrak seumur hidup sedangkan faktanya outsourching dialihkan ke perusahaan alih daya dan pekerja menjadi karyawan di perusahaan alih daya. Keenam, tidak ada status karyawan tetap sedangkan faktanya tetap ada. Ketujuh, perusahaan dapat memutus hubungan kerja kapan pun secara sepihak. Namun faktanya perusahaan tidak bisa secara sepihak memutus hubungan kerja.

Kedelapan, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang. Faktanya jaminan sosial tetap ada dan ditambah dengan adanya jaminan kehilangan pekerjaan. Kesembilan, semua karyawan berstatus tenaga harian sedangkan faktanya status karyawan tetap masih ada.

Kesepuluh, Tenaga Kerja Asing (TKA) bisa bebas. Faktanya adanya pembatasan TKA dan tidak boleh ada jabatan personalia di tempat kerja. Hoax selanjutnya, buruh dilarang protes dan bisa di PHK tetapi faktanya tidak ada larangan.

Terakhir, libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Faktanya sejak dahulu penambahan hari libur di luar tanggal merah tidak diatur di Undang-Undang tetapi berdasarkan kebijakan pemerintah.

“Masyarakat cenderung lebih percaya terhadap hoax dibandingkan dengan membaca keseluruhan isi pasal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Harusnya dibaca dahulu, bandingkan dengan yang lama. Seandainya ada yang tidak setuju atau beberapa pasal yang dianggap masih keliru, masyarakat bisa mengajukan Judicial Review ke MK (Mahkamah Konstitusi),” tegas Werner.

Sebelum webinar dimulai, Dr. Putu Anom Mahadwartha, S.E., M.M., CSA., Dekan FBE Ubaya memberikan sambutan dan arahan kepada peserta webinar Omnibus Law, yang diikuti sekurangnya 600 peserta.(tok/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs