Dua studi mengungkapkan bahwa orang yang memiliki golongan darah O memiliki risiko lebih kecil terkena virus corona.
Kantor berita Turki, Anadolu seperti yang dilansir Antara, pada Jumat (16/10/2020) melansir bahwa sebuah studi di Denmark yang dilakukan 11 peneliti mengungkap, dari 473.654 orang yang dites Covid-19, orang yang bergolongan darah O diasosiasikan dengan risiko infeksi corona yang lebih kecil.
“Kami menunjukkan bahwa golongan darah O secara signifikan terkait dengan penurunan kerentanan terhadap infeksi SARS-CoV-2,” kata penelitian yang diterbitkan Rabu (14/10/2020) di Blood Advances, jurnal medis peer-review American Society of Hematology.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang dengan golongan darah A, B, dan AB juga berisiko lebih tinggi mengalami trombosis, yakni pembekuan darah di dalam pembuluh darah, dan penyakit kardiovaskular pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Hasil serupa ditemukan oleh studi medis Kanada yang dilakukan oleh 14 peneliti berdasarkan data yang dikumpulkan dari pasien unit perawatan intensif di enam rumah sakit di Vancouver.
“Pasien Covid-19 dengan golongan darah A atau AB tampaknya menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih besar daripada pasien dengan golongan darah O atau B,” kata penelitian tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal yang sama, menambahkan bahwa individu dengan golongan darah O dilaporkan menjadi “kurang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.”
Studi tersebut juga mencatat bahwa pasien Covid-19 bergolongan darah A atau AB memiliki risiko lebih tinggi dan durasi yang lebih lama dalam perawatan intensif, dibandingkan dengan mereka yang bergolongan darah O atau B.
Sementara 84 persen pasien dengan golongan darah A atau AB membutuhkan ventilasi mekanis pada infeksi SARS-CoV-2, tingkat itu adalah 61 persen untuk pasien dengan golongan darah O atau B.
Rata-rata pasien yang bergolongan darah A atau AB, dirawat intensif sekira 13,5 hari. Sementara itu untuk pasien dengan golongan darah O atau B, hanya sembilan hari.
Jumlah kasus Covid-19 di dunia mencapai sekitar 38,5 juta dan kematian mendekati 1,1 juta pada hari Kamis, menurut data Universitas Johns Hopkins.(ant/tin)