Jumat, 22 November 2024

Terdakwa Penanam Ganja di Surabaya Akan Ajukan Uji Materi UU Narkotika

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Tanaman ganja. Foto: Hello Sehat

Ardian Aldiano (21 tahun) terdakwa perkara ganja di Pengadilan Negeri Surabaya akan mengajukan uji materi atas Pasal 111 Ayat (2) dan Pasal 114 Ayat (2) Undang-undang Narkotika yang didakwakan kepadanya.

Dino akan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan dan menjelaskan secara gamblang tentang frasa ‘pohon’ di dalam dua pasal itu. Uji materi akan dia layangkan melalui Singgih Tomi Gumilang kuasa hukumnya.

“Yang kami minta (uji materiil) itu adalah, memberikan tafsir konstitusi frasa ‘pohon’ pada pasal 114 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika,” kata Singgih kuasa hukum Ardian kepada wartawan, Minggu (11/10/2020).

Bunyi pasal itu, “dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

Ada sejumlah alasan kenapa Ardian mengajukan permohonan uji materi ke MK. Di antaranya, dalam praktiknya, menanam tanaman ganja setinggi 5 sentimeter dengan menanam pohon ganja setinggi 5 meter atau lebih dianggap sama.

Padahal, kata Singgih, hal itu akan berimplikasi pada ganjaran hukuman yang harus diterima.

“Padahal, dalam UU narkotika ini masih dikenal istilah gramasi (bobot/berat). Bisa dibayangkan, kalau ada tanaman setinggi 5 sentimeter dan 5 meter dianggap sama, ini merugikan klien kami. Antara ganja bobot 5 gram dengan 1 kilogram, nanti bisa dianggap sama. Ini tentu berpengaruh pada hukuman yang diterima,” kata Singgih.

Dia mencontohkan, perkara Fidelis penanam pohon ganja untuk istrinya yang sakit di Kalimantan yang hanya dituntut 5 bulan dari jaksa dan divonis 8 bulan. Padahal, bila kliennya dikategorikan sebagai penanam, maka telah terjadi disparitas (perbedaan) hukuman.

“Dalam UU narkotika, tidak dikenal bibit tanaman, yang ada pohon. Berapa pun tingginya, disebut pohon. Padahal, tafsir frasa pohon sendiri menurut situs yang saya temukan di website Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berbunyi, tumbuhan yang punya  akar,  lbatang, dan tajuk yang jelas, dengan  tinggi minimum 5 meter,” kata Singgih.

Singgih berharap, MK mengabulkan permohonannya. Jika dikabulkan, dia akan menjadikan putusan MK itu sebagai bukti baru atau novum sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara kliennya.

“Klien kami hanya minta keadilan yang sama di mata hukum. Jangan sampai kasusnya sama, tapi hukumannya bisa berbeda,” katanya.

Perlu diketahui, Dino duduk sebagai pesakitan karena didakwa menanam 27 pohon ganja secara organik di rumah kontrakannya di Surabaya, Jawa Timur, beberapa bulan lalu.

Tinggi pohon yang ia tanam rata-rata 3-40 sentimeter. Ia didakwa dengan Pasal 114 Ayat (2) UU Narkotika dengan tuntutan sembilan tahun penjara. (den/ang)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs