Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Kepolisian Republik Indonesia menghabiskan Rp408,8 miliar untuk pembelian lima paket pengadaan barang “mendesak” pada periode September 2020.
“LPSE Polri mencatat setidaknya lima paket pengadaan barang yang dilakukan dengan keterangan ‘tambahan’, ‘anggaran mendesak’, atau ‘kebutuhan mendesak’ pada periode September 2020 dengan total pengadaan kelima paket itu adalah Rp408,8 miliar,” kata Wana Alamsyah peneliti ICW, di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Kelima paket pengadaan itu adalah pengadaan sentralized command control system for intelligence target surveillance Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisian TA 2020 (tambahan) untuk Korps Brigade Mobil Kepolisian Indonesia dengan tanggal pembuatan 16 September 2020 senilai Rp179,4 miliar.
Kemudian pengadaan helm dan rompi anti peluru Korps Brigade Mobil (anggaran mendesak-APBNP) untuk Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisian Indonesia dengan tanggal pembuatan 21 September 2020 senilai Rp90,1 miliar.
Lalu peralatan tactical mass control device (kebutuhan mendesak APBNP) untuk Staf Logistik Kepolisian Indonesia dengan tanggal pembuatan 25 September 2020 senilai Rp69,9 miliar.
Masih ada lagi belanja peralatan counter UAV and surveillance Korps Brigade Mobil (anggaran mendesak APBNP) untuk Korps Brigade Mobil Kepolisian Indonesia dengan tanggal pembuatan 25 September 2020 senilai Rp69,9 miliar.
Selain itu adalah belanja pengadaan drone observasi tactical (anggaran mendesak APBNP) untuk Korps Brigade Mobil Kepolisian Indonesia dengan tanggal pembuatan 25 September senilai Rp2,9 miliar.
“Tercatat sebagai ‘kebutuhan dan/ atau anggaran mendesak’, yang diduga berkaitan dengan antisipasi aksi massa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law,” kata Alamsyah dilansir Antara.
Selain anggaran untuk antisipasi aksi massa, ICW juga menemukan dalam kurun waktu 2017-2020 Kepolisian Indonesia berbelanja sembilan paket pengadaan barang untuk aktivitas digital senilai Rp1,025 triliun.
Intelijen Keamanan
Satuan kerja yang paling banyak membeli peralatan untuk aktivitas digital yaitu Badan Intelijen Keamanan Kepolisian Indonesia yaitu empat paket pengadaan dengan anggaran sebesar Rp483 miliar.
“Berbagai temuan-temuan di atas menunjukkan terdapat aktivitas pembelanjaan yang ditenggarai dapat digunakan untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital,” kata dia.
Menurut ICW, kedua alat yang telah dibeli hamba hukum itu, misalnya, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan untuk menjalankan perintah sesuai dengan surat telegram yang dikeluarkan kepala Kepolisian Indonesia.
Kondisi serupa juga pernah terjadi pada saat penolakan terhadap revisi UU KPK dan aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu.
“Adapun polanya yaitu mendistorsi suara dari publik yang kontra terhadap pemerintah. Selain itu adanya penggiringan opini publik terhadap para pihak yang melakukan unjuk rasa. Terdapat dua kejadian yang dicatat pada September 2019 lalu,” kata dia.
Pertama, akun resmi polisi yaitu @TMCPoldaMetro disinyalir menyebarkan disinformasi mengenai ambulan milik Provinsi DKI Jakarta yang diduga membawa batu. Tidak lama berselang informasi itu hilang.
Kedua, ada grup WhatsApp dengan mengatasnamakan siswa Sekolah Teknis Mesin (STM) yang diduga dibuat polisi. Tujuannya sebagai kontra narasi terhadap para aktor yang mengikuti unjuk rasa.
Pola seperti itu, menurut Alamsyah, menunjukkan dua hal penting lain terkait politik anggaran dan prioritas belanja Kepolisian Indonesia, yaitu pertama, Kepolisian Indonesia tidak memiliki perencanaan anggaran dan belanja yang jelas dan efektif sehingga muncul belanja-belanja yang tidak sesuai dengan rencana dan prosesnya janggal.
Kedua, DPR tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal karena sebenarnya, pagu awal anggaran Kepolisian Indonesia pada 2020 hanya Rp90,3 triliun, sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2020. Namun, setelah ada pembahasan di DPR, anggaran itu melonjak menjadi Rp104,7 triliun.
Berbeda dengan TNI yang anggarannya ada di tangan Kementerian Pertahanan, maka anggaran bagi sektor militer dan pertahanan Indonesia pada APBN tahun berjalan masih harus “dibagi” lima, yaitu untuk keperluan Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, Markas Besar TNI AL, Markas Besar TNI AU, dan Markas Besar TNI AD.
Sedangkan Kepolisian Indonesia tidak demikian, karena pos anggaran mereka dipergunakan sendiri dan tidak perlu lagi dibagi-bagi dengan kementerian atau lembaga lain.
“Besarnya alokasi anggaran yang digelontorkan pemerintah kepada kepolisian selama ini tidak merepresentasikan fungsi yang diemban sesuai dengan pasal 2 UU Nomor 2/ 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” kata dia.(ant/tin)