Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur bersepakat untuk bersama-sama menekan prevalensi perokok anak yang terus mengalami kenaikan, terutama di masa pandemi Covid-19.
Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kadin Jatim menyatakan, sejauh ini Kadin Jatim sangat peduli terhadap kondisi kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan anak-anak. Untuk itu, Kadin sangat terbuka atas temuan Koalisi Stop Child Abuse yang terdiri dari Alit Indonesia, ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo.
Temuan tersebut menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok anak di masa pandemi.
“Kalau kita bicara rokok, yang punya pabrik rokok saja tidak ingin anaknya yang kecil merokok. Begitu juga pekerjanya. Termasuk pedagang-pedagang kecil eceran saya pastikan mereka tidak mau anak-anaknya merokok. Tentu ini akan mencari titik temu. Dari industri juga tidak mau anak-anaknya merokok di usia dini. Jadi dengan adanya ini, kita bisa bersama-sama dengan Alit Indonesia untuk membicarakan kebijakan strategis apa yang harus ditempuh,” ujar Adik Dwi Putranto saat Lokakarya dengan tema Membangun kebijakan strategis dalam menekan perokok anak yang digelar di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Senin (28/9/2020).
Adik yakin, industri rokok sudah melaksanakan aturan-aturan pemerintah. Pengemasan misalnya, juga sudah dituliskan sesuai aturan.
“Jadi Alit dan Kadin ini nafas dan energinya sama kita rumuskan dan buat kajian-kajian bagaimana mengurangi perokok anak,” tegasnya berdasarkan rilis yang diterima suarasurabaya.net.
Pada kesempatan yang sama Yuliani Umrah Direktur Eksekutif Alit Indonesia mengatakan bahwa Koalisi Stop Child buse yang terdiri dari Alit Indonesia,Il ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo telah melakukan survei tentang perokok anak selama pandemi. Dari survei tersebut, diketahui bahwa prevalensi perokok anak di masa pandemi mengalami kenaikan.
“Kami ingin mengajak berfikir bersama dengan adanya temuan tersebut. Kalau kemudian kami hanya menemukan 500 anak yang menjadi perokok, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari seribu atau bahkan sepuluh ribu anak yang menjadi perokok. Bahwa tujuan kami tidak ingin bermusuhan dengan Kadin dan Gapero tetapi fakta temuan tersebut harus dipikirkan bersama agar dapat menentukan langkah bersama kedepan seperti apa. Harapan kami kedepan, kita satu suara ke pemerintah pusat bagaimana mengatur kebijakan selanjutnya,” ujar Yuli.
Ia menyadari bahwa isu perokok anak sejauh ini selalu pro dan kontra. Namun Alit ingin menemukan satu titik di mana harus dibuat langkah strategis secara bersama. Karena 500 anak yang sudah berbicara tersebut telah mewakili ribuan anak yang bisa diselamatkan akibat rokok.
Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto menjelaskan, selain kenaikan prevalensi perokok anak, hasil survei yang dilakukan di 5 Regional State, Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi dan DI Yogyakarta tersebut juga menunjukkan bahwa tempat yang paling banyak digunakan untuk merokok adalah warung kopi.
“Kebetulan saat itu pada saat kondisi pandemi, anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka sehingga banyak menggunakan wifi dan belajar online di warung kopi tetapi di sana mereka juga merokok,” ujar Lisa.
Survei yang dilakukan juga melihat atau berkaca pada aturan tentang rokok. Tahun 2019, kebijakan cukai menetapkan kenaikan harga rokok hingga 35 persen dengan kenaikan beragam.
Tetapi dari beberapa aturan yang ada, koalisi juga menemukan bahwa ada kebijakan Dirjen Bea dan Cukai nomor 37 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang menyatakan bahwa produsen dapat menjual (HJE) dibawah 85 persen dari bandrol asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang survei Kantor Bea dan Cukai.
“Kami berusaha melihat bagaimana kebijakan ini dilaksanakan, langkah tindak lanjut seperti apa untuk bersama-sama dipikirkan bagi anak Indonesia,” ujarnya.
Sulami Bahar Wakil Ketua Umum Bidang Cukai dan Pemberdayaan Perempuan Kadin Jatim yang juga menjadi Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya mengatakan tertarik dengan hasil penelitian. Karena baru kali ini survei prevalensi perokok anak yang tidak berseberangan dengan industri dan tidak memojokkan industri.
Sulami membenarkan bahwa selama ini prevalensi anak perokok Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Di tahun 2018, naik 9,1 persen. Dan Gapero bersepakat untuk menurunkannya di tahun ini menjadi 8,4 persen.
“Dari industri kami tidak menghindari adanya kenaikan preveaensi perokok anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan yang telah ditentukan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan rokok kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan himbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual rokok pada anak,” tegasnya.
Ia menegaskan, asumsi perokok dini dipicu karena harga rokok murah dengan cara pemerintah mengeluarkan aturan Dirjen Bea Cukai nomor 37 / 2017 sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Terlebih menurut Sulami, kebijakan pemerintah dalam mengontrol konsumsi rokok sudah banyak dilakukan. Diantaranya dengan pemungutan cukai, PPN dan Pajak Rokok yang mencapai 61 persen dari harga banderol rokok itu sendiri. Harga jual rokok yang ditentukan oleh pemerintah dan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Sejumlah kebijakan tersebut dinilai sudah berdampak dengan menurunnya jumlah pabrik rokok di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah industri rokok mencapai 4.669. di tahun 2017, jumlah tersebut turun menjadi 779 industri. Selain itu, produksi juga turun.
Pada kesempatan tersebut, Sulami juga memaparkan data yang sedikit berbeda, bahwa kenaikan harga rokok tidak berpengaruh pada penurunan prevalensi perokok anak. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa jika harga rokok naik, 57 persen perokok usia dini memilih tidak beralih produk rokok, sedangkan 43 persen lainnya memilih untuk beralih ke produk lain.
“Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga rokok tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini,” katanya.
Faktor dominan yang menjadi penyebab perokok usia dini adalah keluarga merokok, Pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah dan teman sekolah.
“Adanya keluarga merokok yang tinggal serumah berpeluang 3 kali menyebabkan anak usia dini mengkonsumsi rokok. Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar bagi anak usia dini mengkonsumsi rokok,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Herawanto Ananda Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jatim menyatakan larangan menjual rokok pada anak sebenarnya sudah ada. Tetapi sejauh ini penegakan hukumnya yang masih lemah sehingga sangsi bagi pelanggar tidak ada.
“Yang bisa dilakukan hanya dengan memberikan sangsi sosial,” tegas Herawanto.
Kris Nugroho Kepala Prodi Ilmu Politik FISIP Unair dan Pengamat Kebijakan Politik mengatakan bahwa data yang dipaparkan Alit sangat menarik karena ini merupakan penegasan yang kesekian bahwa anak perokok menjadi hal yang terbuka.
Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh penelitian lain. Hanya saja, penelitian- penelitian tersebut terbentur pada follow up.
“Inilah yang kemudian saya tegaskan bahwa temuan ini lebih baik diarahkan pada rekomendasi atas kekosongan regulasi atau undang-undang untuk melindungi anak. Ini menurut saya sangat strategis,” pungkasnya. (ang)