Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menanggapi sikap dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda pelaksanaan Pilkada Serentak.
KH Marzuki Mustamar Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim mengatakan, keputusan itu tidak bisa dipukul rata untuk diterapkan di semua wilayah, karena kasus Covid-19 di setiap daerah berbeda-beda.
“Di NU tidak mau pukul rata. Daerah yang tidak sama kasusnya, lalu dihubungkan sama dengan daerah yang kasusnya berat, di NU tidak boleh. Kalau di NU tidak bisa gebyah uyah (menyamaratakan)” kata Marzuki kepada Radio Suara Surabaya, Senin (21/9/2020).
Ia sendiri mengaku belum mengetahui pasti alasan pengurus PBNU untuk meminta KPU menunda Pilkada Serentak ditunda. Ia menduga keputusan tersebut dilandasi kasus Covid-19 yang ada di Jabodetabek dan kota-kota lain yang merupakan zona merah Coid-19.
“Apakah wilayah yang cukup aman seperti Trenggalek, Banyuwangi, Pacitan, juga harus melakukan hal yang sama Pilkada harus ditunda karena situasi seperti Jakarta? Saya kira tidak harus dipukul rata gara-gara daerah yang merah pekat disamakan dengan daerah lain,” paparnya.
Marzuki mengatakan, ini dikarenakan pihak KPU, Panitia Pengawas hingga Tim Sukses sudah terlanjur menganggarkan dana dan jika ditunda, ia mempertanyakan bagaimana proses penundaan tersebut. Belum lagi di beberapa daerah yang dipimpin oleh Pelaksana Tugas dan segera membutuhkan pergantian kepemimpinan.
“KPU dan pihak-pihak yang terlanjur menganggarkan, keamanan dan segala macamnya, pertanggung jawabannya kepada siapa dan bagaimana? sing ngijoli sopo (yang mengganti siapa)? Lalu Plt Bupati yang tahu-tahu ditunjuk, ketika nyuwun sewu, hak-haknya tidak seperti bupati definitif apa tidak mengganggu proses regulasi di daerah? Bikin APBD, Perda, menata birokrasi dan menata mutasi-mutasi?” jelas Marzuki.
Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya model pemilihan umum berdasarkan situasi Covid-19 di masing-masing daerah. Kalau pun pilkada terpaksa harus dilakukan, KPU bersama pemerintah perlu untuk menyusun kembali protokol kesehatan ketat sehingga mengurangi risiko penularan Covid-19.
Marzuki juga menyoroti kurangnya transparansi data yang akurat, sehingga masyarakat meragukan proses pelaksanaan pilkada itu sendiri.
Ia juga menyarankan agar calon kepala daerah di swab ulang untuk memastikan kondisi kesehatan mereka. Sehingga hasil swab kedua itu menjadi second opinion sekaligus pelengkap data, dan calon terkait tidak keberatan jika hasil swab tersebut disampaikan ke masyarakat.
“Yang penting bagi kami keamanahan, kejujuran dan komitmen untuk menyampaikan data yang valid soal covid. Mana yang harus ditunda, mana yang tidak. Bagi kami itu sangat penting, bahwa hasil swab harus benar-benar akurat dan tidak ada pihak yang main-main dengan covid,” tuturnya.
Menurutnya, jika KPU dan pemerintah tidak terbuka dengan data Covid-19, maka jangan menyalahkan masyarakat tidak mereka tidak mengindahkan aturan dan imbauan. Karena pada dasarnya, mayoritas masyarakat akan taat jika ada kepercayaan.
“Angel tuturane (susah dikasih tahu) karena mungkin salah satu penyebabnya, mereka menganggap ada pihak yang bermain-main dengan data. Akhirnya masyarakat kurang percaya. Maka mereka diperintah yo nggak manut (tidak nurut), kan diperintah orang yang tidak bisa dipercaya. Bukan karena jahatnya mereka, masyarakat itu manut-manut sebenarnya,” tambah Marzuki.(tin)