Jumat, 22 November 2024

Memahami Orang Tuli, Bukan Tunarungu

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Bunga, salah seorang Tuli pendiri Komunitas Arek Tuli (Kartu) Surabaya saat berbicara dengan bahasa isyarat di Satu Atap co-Working Space Surabaya, Minggu (27/1/2019) petang. Foto: suarasurabaya.net

Seorang Tuli dapat melakukan apa saja seperti orang dengar, kecuali mendengar.

Demikian kutipan Irving King Jordan, profesor Tuli pertama yang menjadi presiden Tuli di Universitas Gallaudet, Amerika Serikat.

Tuli bukan Tunarungu. Demikian ditegaskan Bunga, salah seorang Tuli pendiri Komunitas Arek Tuli (Kartu) Surabaya. Orang Tuli ternyata kurang nyaman disebut dengan terminologi “tunarungu”.

Tuli Bukan Tunarungu

Bunga menjelaskan, terminologi tunarungu diciptakan dunia kedokteran untuk menyebut orang yang mengalami gangguan atau kerusakan fungsi pendengaran. Istilah ini, bagi para Tuli, justru bernada kurang sopan.

“Kami lebih suka disebut Tuli dengan huruf “T” besar (kapital) seperti dijelaskan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beda dengan tuli dengan huruf “t” kecil yang artinya tidak sopan,” kata Bunga dengan bahasa isyarat di Satu Atap co-Working Space Surabaya, Minggu (27/1/2019) petang.

Tuli di dalam KBBI memang dibedakan dua makna. Tuli dengan huruf “t” kecil berarti tidak dapat mendengar karena rusak pendengarannya; pekak; atau tunarungu. Sedangkan Tuli dengan “T” kapital berarti tidak bisa mendengar dan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

Sejak awal, orang-orang Tuli di Indonesia menyebut diri mereka sebagai “Tuli” bukan “tunarungu”. Ini terlihat dari beberapa organisasi dan pergerakan orang Tuli di Indonesia yang menggunakan terminologi “Tuli”.

“Dulu, ada namanya Sekartubi, Serikat Tuli dan Bisu Indonesia. Lalu ada Gerakan Kaum Tuli Indonesia, Gerkatin. Lihat, tidak ada istilah tunarungu, kan?” Kata Bunga saat menyampaikan materi diterjemahkan oleh Nana, seorang interpreter bahasa isyarat.

Karena itulah orang Tuli lebih suka disebut “Tuli” karena terminologi ini mewakili identitas mereka yang memiliki kebanggaan berkomunikasi dengan bahasa isyarat, serta menunjukkan kemajuan dan kemampuan berfikir yang luas.

Menggunakan Bisindo daripada SIBI

Bunga lantas mengajak peserta Meet and Gigs Trisouls dengan Soulfamz di Satu Atap untuk memahami bahasa isyarat yang digunakan orang Tuli dalam berkomunikasi sehari-hari.

Secara resmi pemerintah memang telah merumuskan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang disusun para ahli bahasa isyarat yang notabene “orang dengar” tanpa melibatkan “orang Tuli”.

SIBI, bagi orang Tuli, seringkali membuat mereka kesulitan dalam berkomunikasi. Selain karena hanya menggunakan gestur tanpa ekspresi, komunikasi dengan SIBI juga berbelit-belit karena disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

“Ada imbuhan (baik awalan dan akhiran) serta banyak kosakata yang mirip, dan sering membuat kami salah tafsir. Karena itu kami lebih banyak menggunakan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia),” ujar Bunga.

Bisindo lebih komunikatif. Selain menggunakan gestur, Bisindo juga menggunakan ekspresi. Dengan SIBI, orang Tuli kesulitan mengungkapkan kata-kata bernada marah, sedih, atau gembira.

“Kalau dengan Bisindo, selain kosakatanya lugas tanpa imbuhan, kami juga bisa mengekspresikan emosi,” ujar Bunga sembari mencontohkan beberapa kosakata Bisindo yang menunjukkan emosi.

Kekurangan Interpreter

Orang Tuli, menurut Bunga, sampai saat ini masih kesulitan berkomunikasi dengan orang dengar karena sangat kurangnya orang dengar yang mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Dia menunjukkan data perbandingan antara jumlah orang Tuli dengan jumlah interpreter bahasa isyarat di Indonesia yang sangat timpang. Dari ribuan orang Tuli, jumlah interpreter hanya 34 orang di seluruh Indonesia.

Di Surabaya, dua tahun silam, Bunga bahkan tidak menemukan satupun interpreter yang dapat membantunya untuk berkomunikasi dengan orang dengar dan mendapatkan informasi.

“Awalnya sulit sekali mencari interpreter. Kuliah tidak ada yang menjelaskan, dosen menjelaskan tidak mengerti, pas ada acara sulit mendapatkan informasi,” ujar Bunga sebagaimana diterjemahkan Nana.

Karena itulah dia mendirikan Komunitas Arek Tuli (Kartu) Surabaya. Melalui komunitas ini, dia menginisiasi kelas bahasa isyarat untuk menumbuhkan jumlah interpreter di Surabaya.

Saat itu, Bunga harus pergi ke Yogyakarta atau ke Malang untuk meminta bantuan interpreter dalam menggelar kelas bahasa isyarat ini demi menumbuhkan jumlah interpreter di Surabaya.

Dua tahun Kartu Surabaya menggelar kelas bahasa isyarat ini dengan frekuensi baik satu bulan sekali atau dua minggu sekali, hasilnya baru ada tiga interpreter yang bisa membantu teman Tuli di Surabaya.

Perlu Lebih Banyak Dukungan

Teman Tuli (sebutan akrab untuk orang tuli) di Kartu Surabaya selama dua tahun berdiri dan aktif menggelar kelas bahasa isyarat banyak mendapatkan dukungan dari teman dengar (sebutan untuk orang dengar).

Bunga sebagai pendiri Kartu Surabaya mengatakan, sampai saat ini setidaknya ada 20 orang relawan teman dengar yang banyak membantu mereka dalam menyelenggarakan kegiatan.

Selain itu, kepedulian juga datang dari Renjana, sebuah organisasi yang peduli kepada orang disabilitas dengan menggelar berbagai workshop atau pelatihan untuk mereka.

Qonita Nabila co-Founder Renjana mengatakan, mereka tergerak untuk menggelar acara yang memungkinkan teman Tuli bisa berteman dengan teman dengar.

“Sebenarnya, kami di Renjana ini memang banyak menggelar workshop untuk para difabel yang selama ini memang tidak memiliki akses dalam kegiatan seperti pelatihan atau workshop pengembangan diri,” ujarnya.

Bersama Billy Purwacaroko yang juga pendiri Renjana, mereka mendukung penuh setiap kegiatan Kartu Surabaya dalam berkolaborasi dengan teman dengar di kegiatan-kegiatan lokakarya seperti kelas bahasa isyarat.

Kemarin, Minggu (27/1/2019), Kartu Surabaya bersama Renjana telah membuktikan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Teman Tuli yang tergabung di Kartu Surabaya berhasil menyanyikan lagu “Isyarat” bersama dengan tiga penyanyi Trisouls, grup vokal nasional yang sedang naik daun, dalam Meet and Gigs Trisouls and Soulfamz di Satu Atap Surabaya.

Seluruh personel Trisouls sendiri sepakat mengatakan, acara ini sengaja digelar untuk mengajak fans mereka di Surabaya agar lebih peduli dengan teman Tuli.

“Kami ingin mengajak supaya Soulfamz lebih peduli dan mengerti teman Tuli. Bahwa teman-teman Tuli ini, mereka butuh didengar juga suaranya,” kata Yerry Ririassa dan Demian Jonathans, dua personel Trisouls.

Jesse Thomasmore personel Trisouls yang lain menegaskan, teman Tuli sebenarnya sama dengan teman dengar, hanya saja mereka tidak bisa mendengar.

“Mereka sebenarnya memiliki kemampuan, talenta, dan keinginan yang sama dengan kita yang bisa mendengar. Kita bisa melakukan hal-hal kecil seperti mau berkomunikasi dengan mereka,” ujarnya.

Trisouls berharap, hal kecil lain yang bisa dilakukan anak muda milenials untuk lebih peduli kepada teman Tuli, adalah ketika mereka membuat vlog (video blog) juga menyertakan subtitle dalam bahasa isyarat.

“Supaya mereka teman-teman Tuli ini juga bisa memahami apa sih yang mau kita sampaikan di vlog kita,” ujarnya.(den/tin)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs