Jumat, 22 November 2024

Ruang Aman untuk Korban Kekerasan Seksual Adalah Masyarakat yang Sadar

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Live Instagram Suara Surabaya Media, Rabu (19/8/2020) bersama Prita Yulia Maharani Psikolog Riliv (bawah) sebagai narasumber dan dipandu oleh Larasati Putri sebagai host. Foto: Tina suarasurabaya.net

Korban kekerasan seksual perlu ruang aman untuk berlindung. Tempat paling aman bagi mereka adalah masyarakat, terutama lingkungan sekitar mereka, yang sadar bagaimana melindungi mereka.

Prita Yulia Maharani Psikolog Riliv menyayangkan, yang terjadi di masyarakat justru stigma negatif. Stigma itu cenderung mengarah pada apa yang dia sebut playing victim, yang cenderung menyalahkan korban.

Ya iyalah pakaianmu kurang kain. Perempuan biasa dibegitukan. Kalau korbannya laki-laki, ada yang bilang masak laki-laki nggak kuat. Yang strong dong. Emangnya jadi korban kita nggak boleh sedih?” katanya di KelaSS Pintar episode 9 yang disiarkan langsung di Instagram Suara Surabaya Media, Rabu (19/8/2020).

 

View this post on Instagram

 

A post shared by SUARA SURABAYA FM 100 (@suarasurabayamedia) on


Dalam program live Instagram bertema “Ruang Aman untuk Korban Kekerasan Seksual,” Prita menegaskan, untuk melawan stigma negatif ini korban kekerasan seksual perlu speak up (berbicara secara terbuka).

“Memang sulit. Tapi langkah pertama, cari orang yang dipercaya. Ceritakan kejadian itu kepada orang yang kita percaya. Yang kemudian akan mendampingi kita,” katanya kepada Larasati Putri Host KelaSS Pintar.

Larasati Putri host KelaSS Pintar episode 9 yang sedang memandu jalannya diskusi. Foto: Purnama suarasurabaya.net

Dia juga menyarankan kepada korban kekerasan seksual agar lebih berani mengadu lebih awal. Selama ini, kebanyakan korban kekerasan seksual tidak langsung melaporkan kejadian itu kepada pihak berwajib.

“Mereka biasanya setelah kejadian itu pulang ke rumah sembunyi-sembunyi, mandi, terus diam. Padahal, kalau setelah kejadian itu langsung melapor, dalam kondisi compang-camping itu akan menjadi bukti,” katanya.

Dia bilang, salah satu faktor korban kekerasan seksual tidak segera speak up karena ada kondisi yang dia istilahkan freeze (beku). Kondisi di mana kaget, kebingungan, kecemasan, dan ketakutan itu menjadi satu.

“Akhirnya diam. Jadi kayak patung. Pada kondisi begitu pada akhirnya cuma bisa pasrah. Malah bertanya-tanya, yang ada tadi kenapa ya? Aku ngapain? Aku diapain? Mau cerita bingung,” katanya.

Pada kondisi seperti itulah, orang-orang terdekat di sekitar mereka seharusnya berperan menjadi ruang yang aman dan membuat mereka merasa terlindungi. Para korban kekerasan ini, rawan menjadi depresi.

“Bagaimana masyarakat harus bersikap ini yang paling berat. Pertama, jangan jauhi korban. Coba dekati korban. Yang mereka butuhkan hanya support (dukungan). Masyarakat yang aware (peduli) seharusnya mengupdate pengetahuan mereka,” ujarnya.

Dia juga mengajak anak muda yang selalu memutakhirkan pengetahuan agar menjadi agen perubahan. Mereka yang bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, setidaknya orang-orang di sekitar mereka.

“Jangan sampai muncul stigma negatif (terhadap korban kekerasan seksual). Mereka (korban) enggak mau ada di posisi itu. Mereka enggak minta dibegitukan,” ujarnya.(den/tin/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs