Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan penggunaan fitur global positioning system(GPS) dari perangkat ponsel pintar, berpotensi membahayakan keselamatan pengemudi kendaraan bermotor dan pemakai jalan raya.
Maka dari itu, orang yang mengemudikan kendaraan sambil memperhatikan GPS dari ponselnya dianggap melanggar hukum.
Hal itu dinyatakan MK dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi atas gugatan masyarakat terkait Penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 yang mengatur ketentuan pidana atas larangan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang dibacakan siang hari ini, Rabu (30/1/2019), di Ruang Rapat Gedung MK, Jakarta Pusat.
Hakim Anwar Usman bertindak Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota.
Sebagai pertimbangan hukum MK, esensi pokok yang hendak dijelaskan dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 adalah mengenai wajibnya pengemudi mencurahkan konsentrasinya secara penuh pada saat sedang mengemudikan kendaraan atau berkendara.
“Oleh karena itu pengemudi tidak boleh melakukan kegiatan lain jika kegiatan lain tersebut dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi,” kata Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hakim.
Berdasarkan pertimbangan itu, MK berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa ‘melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi
oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan’ yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) dalam telepon pintar (smartphone),
adalah tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi memahami GPS membantu pengemudi untuk sampai pada tujuan dengan rute terbaik.
Persoalannya, penempatan ponsel pintar berfitur GPS bisa mengganggu konsentrasi pengguna yang berpotensi membayakan dirinya mau pun pengguna jalan lain.
“GPS bukan satu-satunya objek yang diperhatikan pengemudi. Ada objek lainnya untuk diperhatikan sesuai ketentuan tertib berlalu lintas, misalnya rambu lalu lintas, bangunan, cahaya, dan lainnya,” kata Enny.
Sebaliknya, MK memandang GPS yang terpasang di kendaraan atau bawaan pabrik, lebih aman digunakan dan tidak melanggar hukum.
Alasannya, posisi layar GPS bawaan pabrik sudah melalui riset dan pengembangan sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu konsentrasi pengemudi.
Dengan alasan tersebut, MK mempertahankan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang memerinci salah satu wujud konsentrasi saat berkendara adalah tidak menggunakan telepon.
Artinya, penggunaan GPS dari ponsel pintar tetap dilarang sebagaimana yang berlaku sekarang.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman Ketua Majelis Hakim Konstitusi saat membacakan amar putusan.
Sebelumnya, Sanjaya Adi Putra, Naldi Zen, dan Reza Aditya Anggota Toyota Soluna Community, komunitas penggemar mobil Toyota Soluna, bersama seorang pengemudi taksi daring menggugat Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ, karena khawatir terjerat pidana menggunakan GPS dari ponsel pintar.
Pemohon yang merasa dirugikan haknya sebagai warga negara juga menggugat Pasal 283 yang mengatur ketentuan pidana atas larangan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda Rp750 ribu.
Dalam permohonan yang terdaftar tanggal 19 Maret 2018 dengan Nomor Perkara 23/PUU-XVI/2018, pemohon pun meminta agar penggunaan telepon dibolehkan untuk mengakses GPS, tetapi tetap terlarang untuk melakukan panggilan suara, pesan singkat, dan pesan instan. (rid/dwi/rst)