Siang (7/8/2020), sekitar pukul 15.00 WIB, sekelompok mahasiswa dan dosen sedang merakit robot di ruang workshop, Gedung Pusat Robotika ITS, Surabaya.
Padahal, sejak Covid-19 membayangi negara-negara dunia di awal tahun ini, kompetisi-kompetisi robotika yang mana ITS tak pernah absen mengikutinya mendadak batal.
Alih-alih mengosongkan ruang workshop, para mahasiswa dan dosen yang bergelut di dunia robotika sedang dalam “misi penting”, membuat robot untuk membantu para tenaga medis menangani pasien Covid-19.
Ya, mereka sedang merakit Robot RAISA yang kesembilan. Di ruangan luas yang penuh komponen komputer ini, baik yang ditata rapi atau berserakan, mereka mengembangkan dan memperbanyak produksi robot yang awalnya hasil konsorsium ITS dengan Rumah Sakit (RS) Unair itu.
Muhtadin Anggota Tim Pengembang Robot RAISA mengatakan, sejak pertama kali diserahkan ke RS Unair pada Maret 2020, kini robot tipe service robot itu sudah punya banyak fitur baru.
Tak hanya mengantar makanan dan berkomunikasi dengan pasien lewat layar monitor, RAISA dengan sistem modular kini ditambah fitur alat pengukur suhu tubuh, mengecek kadar oksigen darah pasien, membuka pintu secara otomatis, sterilisasi ruangan, bahkan memantau kondisi pasien lewat alat-alat medis di ruangan isolasi.
Ia mengatakan, keberadaan RAISA telah mengatasi sejumlah persoalan yang selama ini dihadapi perawat seperti kurangnya Alat Pelindung Diri (APD) dan tenaga yang ada.
Memudahkan Nakes Bekerja
Terkait hal itu, dr Nilly Sulistyorini Kepala Humas RS Unair mengafirmasi. Ia mengaku, sejak ada RAISA di rumah sakitnya, pekerjaan perawat jauh lebih ringan.
Ia bercerita, awalnya RAISA diletakkan di lantai 5 ruang inap khusus Covid-19. Robot ini dimanfaatkan untuk mengantarkan makanan dan berkomunikasi dengan pasien.
Lalu, pada pertengahan Juni lalu, RAISA dipindah ke IGD Khusus Covid-19. Di ruangan ini, RAISA ditugaskan menerima pasien dan keluarga pasien yang datang, dan memonitor kondisi pasien di IGD.
“Lebih efisien (dengan) robot. Karena, kalau perawat kan harus pakai APD. Pindah ruangan harus ganti APD. Jangan sampai bawa virus. Balik lagi ke nurse stasion, harus pake APD. Tidak efisien. RAISA mengurangi infeksi ke nakes, dan pasien lain,” jelas dr Nilly.
Sebenarnya, kata dr Nilly, ada satu hal yang tidak bisa digantikan oleh robot, yaitu human touch.
“Bedanya, yang pasti tidak ada human touch. Beda kita merawat dengan tangan sendiri dengan melihat di gadget. Tapi karena ini demi kepentingan bersama, untuk memutus rantai penularan, jadi sangat terbantu oleh RAISA ini,” katanya.
Saat ini, masih satu RAISA yang dioperasikan di RS Unair. Padahal, total ada tiga robot yang dimiliki rumah sakit ini. Kendalanya, ada di kemampuan instalasi dan operasionalisasi robot. Saat ini, pihaknya tengah menunggu tim ITS untuk membantu mereka.
“Terus terang saja, teknologi baru. Terutama bagi kami, satu saja itu sudah bagus. Pengembangan RAISA yang saya lihat ini luar biasa, ada yang bisa ngukur suhu, buka pintu, dan lain-lain,” katanya.
“Kami diskusi terus. Yang kedua, ini masih belum diinstal, nunggu dari ITS,” tambahnya.
RAISA, tidak hanya dimanfaatkan oleh RS Unair. Muhtadin bercerita, saat ini robot yang dinamai seperti penyanyi kenamaan itu sudah dikirim ke beberapa rumah sakit.
“Di Surabaya ada RS Unair, lalu ada (RSUD) dr Soetomo, (RS) Husada Utama. Di Malang ada (RS) Saiful Anwar, terakhir kemarin kami diminta (kirim) ke Wisma Atlet Jakarta,” kata Muhtadin.
Muhtadin mengatakan, teknologi yang dimiliki ITS sebenarnya bisa membuat RAISA dikembangkan sampai menjadi full autonomus robot atau sepenuhnya otomatis tanpa remote control. Tapi, kondisi rumah sakit yang ruangannya sudah lebih dulu diisi pasien Covid-19, membuat teknologi ini jadi hampir mustahil disematkan.
“Sebenarnya robot ini bisa full autonomus. Kalau di aplikasikan ke RS agak sulit. Karena yang ada sekarang sudah dimasuki pasien. Tidak berani melakukan pekerjaan fisik. Akhirnya kalau fungsi autonomus, agak riskan. Syaratnya, harus nyoba disitu, dan tidak error. Misalya pakai ultra sound, akan ngefek pada permukan berbulu, bisa saja, nanti error. Karena semua harus didefinisikan dulu,” jelasnya.
Saat ini, dari feedback para perawat dan petugas rumah sakit yang memanfaatan RAISA, tim robot ITS tengah mengembangkan satu fitur terbaru, yaitu mengingatkan orang-orang yang melanggar protokol kesehatan di area rumah sakit.
“RAISA ini diminta di front desk. Sehingga bisa jalan-jalan di lobi rumah sakit. Kalau ada yang melanggar social distancing diperingatkan, nggak pakai masker diingatkan,” katanya.
Juga Ada KECE dari Unesa
Selain ITS yang membuat robot pembantu Nakes dengan julukan RAISA, Kampus Unesa juga punya robot pembantu Nakes yang dijuluki KECE.
Saat suarasurabaya.net mengunjungi Bengkel Garnesa di Fakultas Teknik (FT) Unesa pada Jumat (7/8/2020) pagi, sekelompok mahasiswa didampingi dosen sedang memperbaiki roda robot KECE di salah satu ruangan.
Mereka tengah mengganti roda robot yang awalnya dipasang untuk medan lantai keramik rumah sakit menjadi roda dengan skok yang mampu berjalan di medan paving atau aspal.
Agung Priyo Budiono Ketua Riset Penelitian Robot KECE Unesa mengatakan, revisi ini dilakukan timnya setelah mengecek langsung Rumah Sakit Lapangan Covid-19 Jatim yang berada di Jalan Indrapura, Surabaya.
Ia tidak memperkirakan, kalau robot yang dilaunching pertengahan Juni lalu itu akan dimanfaatkan di medan darurat seperti RS Lapangan.
“Ketika kita lihat lantai, memang robot perlu diperbaiki rodanya. Rodanya (harus) saya buat lebih kuat dan saya beri skok breaker biar lebih menapak, sehingga movingnya biar enak,” katanya.
Ia menarget, seminggu lagi, robot KECE siap dimanfaatkan di RS Lapangan Covid-19 Jatim.
“Kita approach lagi minggu depan, kita coba. Dengan sudah ada revisi di roda, dengan ada skok gitu. Kedua, beban rodanya saya ganti, biar bisa lebih kuat. Harapannya lewat aspal, paving, masih ngatasi,” ujar Agung.
Kendala di Lapangan
dr Erwin Astha Triyono Kepala RS Lapangan Covid-19 Jawa Timur ketika dikonfirmasi suarasurabaya.net mengakui hal ini.
Ia mengatakan, rumah sakit lapangan yang dibangun di situasi darurat Covid-19 memiliki lantai yang berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Sulit bagi robot untuk dioperasikan di rumah sakit ini.
“Kita kemarin sudah sampaikan ke tim. Prinsipnya kalau dikirim, kita terima. Kita bisa pakai di (ruangan) Graha Indrapura. Ada pasien laki-laki sekitar 59 orang. Area datar. Sebatas itu. Di sana,” katanya.
Tapi, kata dr Erwin ada kendala lagi yang mungkin dihadapi dalam operasionalisasi KECE di ruangan ini.
“Tapi di sana kan area 59 orang itu, bedanya sudah disekat dengan sekat putih. Itu ga bisa dilewati dengan leluasa dengan robot itu. Sesuai dengan lantai, tapi bergeraknya tidak maksimal. Itu sebatas bisa di aula itu. Setelah itu, kan di sana ada tangga. Enggak bisa, lho. satu ruangan itu aja,” tambahnya.
Seperti banyak diketahui, pihak Unesa pada pertengahan Juli (13/7/2020) lalu menyumbangkan robot karya kampus mereka ini ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim untuk dimanfaatkan dalam penanganan Covid-19.
Dalam acara penyerahan robot KECE ke Pemprov Jatim itu, Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim meyakini, robot karya Unesa ini akan berkontribusi signifikan di RS Lapangan Covid-19 Jatim di Indrapura. Terutama, dalam efisiensi penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) tenaga kesehatan.
“Selain akan membantu membuat nakes aman dari risiko paparan Covid-19, robot ini juga bisa menghemat penggunaan APD yang nantinya akan digunakan saat benar-benar urgent,” ujar Khofifah waktu itu.
Selain merevisi KECE agar kompatibel dengan rumah sakit lapangan, Agung dan timnya saat ini sedang mengejar launching robot generasi kedua yang ditarget selesai akhir Agustus nanti.
KECE generasi kedua, kata Agung, memiliki 7 fitur yang merupakan penggabungan dua tipe robot KECE di generasi pertama. Selain itu, ada satu fitur baru yang juga disematkan pada generasi termutakhir ini.
“Di generasi kedua ini, kami rangkum dua robot di generasi pertama jadi satu robot, jadi satu desain.
jadi (generasi) kedua ada 7 fitur: membawa, menarik, komunikasi, sterilisator, oksimeter, UV, dan musik terapi. Di generasi kedua juga, yang awalnya kan pakai radio kontrolnya, untuk berikutnya ini saya pakai based on internet (wifi),” jelasnya.
Tanggung Jawab Moral dan Sosial
Baik RAISA atau KECE, secara filosofis sebenarnya adalah bentuk tanggung jawab sosial dan moral sivitas akademika kampus di tengah pandemi Covid-19.
Seperti perawat, dan dokter yang mencurahkan kompetensinya untuk menangani Covid-19, para ahli teknologi ini juga tengah berjuang di medan pertempuran Covid-19 dengan cara mereka.
“Dari kami, dari sisi teknologi, kami ingin membantu tapi berbekal keterampilan yang kami punya. Jadi kita kolaborasi. Mungkin enggak tahu (kondisi) lapangan, tapi dengan input orang di lapangan, kami bantu selesaikan dengan bekal teknologi ini,” kata Muhtadin.
“Yang jelas, saat kita masih hidup, diberi kekuatan, diberi keilmuan, berharap kapasitas kita bisa bermanfaat sesuai bidang kita. Di keteknikan, tentunya dengan kapasitas ini, kami berharap mmeberi manfaat sebanyak-banyaknya agar covid-19 di Indonesia bisa diminimize, dicegah, dan tentunya bisa banyak mengurangi kematian,” kata Agung.
Gara-Gara PSBB
Selama mengupayakan kebaikan dalam bentuk robot, mereka bergerak bukan tanpa halangan. Tim robot ITS maupun Tim robot Unesa sama-sama menemui halangan saat menciptakan generasi pertama robot RAISA atau KECE.
“Pertama, dulu ada lockdown (di ITS) sebagainya, ngefek. Mahasiswa dan dosen yang kami libatkan nggak banyak. Kemudian karena ada pandemi, kami mendapati komponen sulit didapat. Terbatas impor. Ada bagian yang harus import. Contoh webcam, dulu harganya 900 ribuan, sekarang 3 juta, dan itupun sulit didapat,” kata Muhtadin.
“Saat itu lagi ketat-ketatnya PSBB. Jadi cari pegawai sulit, kerja dilihat orang banyak, toko-toko banyak tutup, bengkel-bengkel yang bantu kita tutup, cukup berat,” kata Agung.
Potensi Robot tipe service robot seperti RAISA dan KECE tak terhenti di urusan kebutuhan rumah sakit saja. Jika dikembangkan, robot-robot ini bisa jadi karya teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Ia bisa ditempatkan di rumah sakit, restoran, hotel, bahkan sekadar membantu masyarakat di rumah.
Maka, pemerintah perlu hadir untuk menyambut potensi ini. Merangkum pernyataan Muhtadin dan Agung, para pembuat robot di dua kampus ini membutuhkan kemudahan akses ke peralatan, feedback untuk pengembangan robot, dukungan dana, dan kemudahan birokrasi. (bas/tin)