Sabtu, 23 November 2024

Dewan Pendidikan Respon Simulasi Sekolah Tatap Muka

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Uji coba pembelajaran di sekolah, dengan menggunakan face shield di SMK PGRI 13 Surabaya beberapa waktu lalu. Foto: Dok/Totok suarasurabaya.net

Pemerintah Kota Surabaya melakukan simulasi sekolah tatap muka, dimulai di 21 SMP sebagai pilot proejct. Drs Martadi MSN Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya menegaskan, simulasi diadakan untuk melihat kesiapan model pembelajaran yang nantinya akan dievaluasi, apakah sekolah tatap muka sudah aman dilakukan atau belum.

Ia juga menegaskan, simulasi bukan berarti sekolah tatap muka sudah pasti akan dilakukan. Karena menurutnya, pembukaan kembali sekolah tetap harus menaati 4 syarat seperti yang menjadi rujukan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri.

Pertama, daerah tempat dibukanya sekolah oleh Gugus Tugas sudah dinyatakan sebagai zona hijau. Kedua, Pemerintah Daerah mengizinkan sekolah untuk kembali dibuka. Ketiga, sekolah harus melalui checklist kesiapan sesuai protokol kesehatan. Terakhir, adanya izin dari orang tua siswa untuk anaknya kembali ke sekolah.

“Mungkin saat simulasi ditemukan ada kendala, ketidaksiapan. Kondisi untuk menentukan ‘oke, september siap masuk’, atau ‘oke masuk, tapi beberapa kendala harus dibenahi’, atau ‘oke masuk, tapi sekolah-sekolah tertentu saja yang diperbolehkan,” kata Martadi kepada Radio Suara Surabaya, Senin (3/8/2020).

Terkait dengan banyaknya anak-anak yang keluar rumah (keluyuran) selama pembelajaran daring, menurut Martadi, alasan tersebut tidak cukup untuk memutuskan memulai kembali sekolah tatap muka. Karena menurutnya, pembelajaran daring bukan pilihan, tapi keputusan yang seharusnya diambil karena kondisi pandemi Covid-19 yang belum usai.

“Kata kuncinya, daring atau tidak daring itu bukan pilihan, tapi karena kondisi yang memaksa untuk memastikan anak kita kesehatannya terjamin,” katanya.

Ia menegaskan, kalau pun sekolah tatap muka dibuka kembali, penuntasan kurikulum bukanlah target utama. Tapi lebih kepada membangun karakter anak dan soft skill siswa selama di rumah.

“Kalau cuma mengejar target akademik itu bukan yang terpenting sekarang,” tambahnya.

Martadi menambahkan, kecenderungan anak-anak keluyuran bisa dikarenakan model pembelajaran daring yang membosankan. Untuk itu, perlu adanya model pembelajaran baru yang lebih variatif agar belajar daring bisa lebih efektif.

Tristan Kesyandria, salah satu pelajar SMP di Kota Surabaya ikut memberikan tanggapan terkait sekolah tatap muka. Jika dibuka, maka risiko penularan Covid-19 semakin tinggi. Ini dikarenakan masih banyak anak-anak yang di sekitarnya yang belum memiliki kesadaran tentang kewajiban memakai masker.

“Beberapa teman saya nggak pakai masker, masker dilepas, katanya ribet. Dilepas terus kontak dengan banyak orang, bergerombol dan nggak pakai masker,” kata Tristan kepada Radio Suara Surabaya.

Tristan mengatakan, sebagian besar anak-anak di lingkungannya hanya memahami bahwa virus bisa ditularkan oleh orang yang sakit. Sehingga banyak dari mereka yang tidak memakai masker karena merasa sehat dan tidak menularkan virus.

“Hanya yang sakit yang dipercaya menyebarkan virus. Kalau ada yang batuk mereka suruh pakai masker. Kalau menurut saya pribadi (sekolah tatap muka) masih berisiko. Ya, itu. Kita nggak tahu anak-anak kontak dengan siapa pakai masker apa tidak,” kata Tristan.(tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs