Pesisir Surabaya menjadi bagian penting dari kehidupan kota secara keseluruhan. Hutan mangrove yang mengelilingi wilayah, di utara dan timur, menjadi tonggak yang memperkokoh batas darat dan laut.
Surabaya punya hutan mangrove di Wonorejo dan Gunung Anyar. Pemkot Surabaya sejak lama menata dua kawasan itu. Semakin kemari, keduanya sudah menarik kunjungan warga kota karena beragam spot menarik.
Bahkan, rencananya, keduanya akan segera menjadi Kebun Raya Mangrove, yang konon terbesar dan satu-satunya di dunia. Fungsi dan manfaat hutan mangrove banyak. Salah satunya, mencegah erosi dan abrasi.
Tidak hanya itu, mangrove menyangga dan mencegah intrusi air laut, tempat berlindung dan berkembang biak pelbagai fauna dan biota laut, sumber pendapatan masyarakat, serta bagian mitigasi bencana seperti tsunami.
Akhir Januari 2020, peneliti asal Jepang datang untuk meneliti satwa apa saja yang hidup di kawasan konservasi mangrove Wonorejo, Surabaya. Mereka pun memasang 12 kamera perangkap di banyak lokasi.
Selama sebulan kamera dipasang untuk mengetahui perkembangan. Pada 2017 silam, seorang profesor asal Tokyo sempat menemukan kucing bakau yang tergolong langka. Apakah kucing itu masih di sana?
Sampai sekarang, hasil penelitan itu belum dirilis. Tetapi selama ini di mangrove Wonorejo diketahui ada mamalia jenis monyet ekor panjang, trenggiling, ular, buaya, biawak, dan 150 lebih jenis burung.
Bila hasil penelitian itu nantinya menemukan lebih banyak lagi satwa penghuni mangrove Wonorejo, itu tidak hanya akan menjadi database, melainkan sekaligus jadi acuan untuk memperbaiki habitat di sana.
Sementara itu, untuk area hutan mangrove Gunung Anyar, kabarnya Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya telah banyak membebaskan lahan untuk kebutuhan pengembangan.
“Sudah ada komitmen, DKPP akan membantu pengembangan wilayah, karena nantinya akan menjadi Kebun Raya Mangrove. Sementara kepariwisataannya diserahkan kepada kami,” kata Slamet Effendi, pegiat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Mangrove Gunung Anyar.
Di lahan seluas 3,7 hektare, Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar diharapkan menjadi hutan di tengah kota yang berdaya mengurangi polusi dan abrasi yang membahayakan penduduk kota.
Sejumlah flora khas air payau, di antaranya Api-Api dan Bakau, tegak berdiri di kawasan itu. Sedangkan flora seperti kepiting, monyet, burung hingga biawak berkembang biak di balik rimbunnya hutan mangrove di sana.
Nah, di luar dua kawasan hutan mangrove itu, ada satu lagi hutan mangrove di wilayah Asem Rowo yang dikenal dengan nama Sontoh Laut. Kawasan ini sedang dikembangkan sebagai wisata bahari oleh warga setempat.
Bukan tidak mungkin sebentar lagi Sontoh Laut yang berada di antara gempuran industri akan menjadi ikon baru yang sangat penting bagi Kota Surabaya, yang mengandalkan mangrove sebagai perisai dari banyak hal.
Tapi bukan tanpa tantangan. Pengembangan Sontoh Laut sebagai wisata bahari sebagai inisiatif warga, dibantu sejumlah CSR perusahaan, justru mendapat ancaman dari warga setempat.
Shodiq Mahfudz, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sontoh Laut menyadari peran vital hutan mangrove sebagai penahan abrasi. Namun kesadaran ini berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Ada warga yang peduli, tapi tidak sedikit yang acuh. Mereka yang peduli, tanaman mangrove yang tampak gersang ditanami kembali. Mereka juga rela membersihkan sampah daratan yang terbawa arus laut secara berkala.
Tapi bagi yang acuh, alasannya adalah perut. “Burung-burung ditangkap untuk dijual. Pohon mangrove ditebang untuk bikin rumah. Kalau sudah seperti itu gimana? Memang enggak ada biaya untuk beli rumah. Untuk makan sehari-hari saja sulit,” kata Mahfudz.
Sebelumnya, Mahfudz telah menggambarkan bagaimana warga Sontoh Laut terhimpit secara ekonomi di tengah pundi-pundi investasi banyak industri yang ada di sekeliling kawasan. Tapi itu bukan alasan.
Sekuat tenaga, Mahfudz bersama warga yang peduli di Pokdarwis menjadikan wisata sebagai solusi atas perbaikan nasib mereka. Agaknya, kesadaran melestarikan lingkungan memang harus diawali kesejahteraan.
Bambang Udi Ukoro, Camat Asemrowo pun menyadari peran vital mangrove sebagai penahan abrasi, juga peran penting warga untuk memelihara lingkungan bahari Sontoh Laut agar tetap lestari.
“Orang nelayan sangat menyadari kondisi alam yang ada, dia melestarikan. Karena kalau enggak ada mangrove, burung-burung enggak bisa berkembang biak,” ujarnya kepada suarasurabaya.net beberapa hari lalu.
Karena itulah, menurutnya, penanaman mangrove perlu dilakukan secara berkala untuk melestarikan kondisi laut yang sudah ada. Untuk itu, semua pihak perlu terlibat, termasuk industri yang ada di sekitar.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, luas mangrove Indonesia sebesar 3,49 juta hektare (sekitar 23 persen luas mangrove dunia). Itu kata Bambang Subiyanto Pelaksana Tugas (Plt) Kepala LIPI.
Dia menyatakan itu ketika menghadiri penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara LIPI dengan Pemkot Surabaya, Minggu (29/4/2018) silam, sebagaimana diberitakan sebelumnya di suarasurabaya.net.
Emil Elestianto Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur juga mengajak masyarakat mempertahankan ekosistem mangrove sebagai bagian upaya menangani masalah lingkungan di wilayah setempat.
“Tanaman mangrove harus dijaga dan dirawat bersama guna diwariskan kepada anak cucu. Mari gelorakan semangat untuk menanamnya,” katanya di sela penanaman mangrove dalam rangka HUT Ke-74 TNI di Romokalisari Surabaya, Senin (7/10/2019).
Artinya, kesadaran tentang fungsi hutan mangrove yang bukan hanya sebagai perisai, tetapi juga sebagai tempat berlindung flora dan fauna di dalamnya sudah dipahami berbagai pihak. Tapi pemahaman tanpa implementasi, tentu sia-sia belaka. (dfn/den/ipg)