Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memicu kontroversi. Ada anggota masyarakat yang menganggap RUU itu mendukung praktik perzinaan, melanggengkan perbuatan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), dan bahkan memperbolehkan praktik aborsi.
Selain itu, ada kekhawatiran pidana kekerasan seksual juga melintasi ruang lingkup hubungan rumah tangga.
“Jangan-jangan nanti ada kasus di mana seorang suami bisa dipidana dengan pasal kekerasan seksual kalau si istri sudah tidak suka atau ada masalah rumah tangga,” ujar Jay Tambunan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara dalam diskusi publik, Sabtu (2/2/2019) siang, di kawasan Menteng Jakarta Pusat.
Menurut Jay, salah satu aspek RUU PKS yang menjadi kontroversi di masyarakat adalah pelaku kekerasan mutlak adalah laki-laki dan perempuan sebagai korban.
Padahal, dalam konteks persetubuhan, tidak menutup kemungkinan laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku. Kecuali bersifat pemaksaan/pemerkosaan atau kepada anak perempuan di bawah umur.
“Dalam draf RUU PKS sangat luas aturan tentang kekerasan seksual. Tapi, kenapa tanggung jawab semuanya kepada laki-laki?” imbuhnya.
Dalam forum yang sama, Imam Nahei Komisioner Komnas Perempuan mengatakan, tujuan RUU PKS untuk mengadvokasi korban kekerasan seksual khususnya perempuan yang selama ini menjadi korban.
“Karena, selain mengalami kekerasan fisik, korban juga menderita secara psikis. UU KUHP belum bisa menjangkau. Makanya, RUU PKS berusaha mengisi kekosongan hukum itu,” tegasnya.
Sekadar diketahui, Rapat Paripurna DPR RI yang digelar akhir tahun 2018 menyepakati, RUU PKS sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019. (rid/bas/iss)