Revisi Peraturan Wali Kota Surabaya tentang kewajiban rapid test berkala setiap dua pekan sekali bagi pekerja yang keluar-masuk Kota Surabaya, menuai protes dari banyak netter dan pendengar Radio Suara Surabaya.
Menurut mereka, kebijakan untuk mengharuskan rapid test berkala membebani masyarakat karena mereka harus mengeluarkan biaya minimal Rp300 ribu per bulan. Apalagi di situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, perekonomian sedang lemah dan tentu berpengaruh dengan pendapatan mereka yang ikut kena imbasnya.
Sebagian dari mereka setuju, jika biaya rapid ditanggung oleh pemerintah atau perusahaan. Sehingga masyarakat tidak merasa terbebani untuk mengeluarkan biaya mandiri.
“pngeluaran makin bnyak dtngah stuasi sulit kedua klo reaktif terus isolasi mndiri apa tmpat kerja bisa mnjamin gaji krna psti tdk. Smua bisa ,ktiga klo bner positif kmudian tmpat krja d tutup imbasnya lbih k bnyak org pdhal lainnya bisa sja dlm keadaan sehat2 tp ikut trdmpak,” tulis akun Trie Permadie Pertama melalui facebook e100.
Hal senada juga diungkapkan Laurent (69) pendengar. Menurutnya, kebanyakan pekerja dari luar Surabaya bekerja sebagai buruh harian. Di masa pandemi, tingkat ekonomi mereka sudah sangat terdampak. Apalagi jika ditambah harus melakukan rapid test berkala, tentu menjadi beban tersendiri.
“Yang kerja di Surabaya bukan orang Surabaya semua. Untuk pedagang sayur dan lain-lain, yang kecil-kecil itu, kasian kalau harus rapid terus-terusan,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya pada Rabu (15/7/2020) petang.
Selain karena biaya rapid yang harus ditanggung mandiri, pendengar lain juga mempertanyakan tingkat keakuratan rapid test.
Sebelumnya, Dr dr Aryati Ketua Umum Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia mengatakan, rapid test antibodi memiliki banyak kemungkinan terjadi hasil nonreaktif palsu.
Ia mengakui, rapid test hanyalah alat screening yang selama ini penggunaannya juga tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam pedoman Kementerian Kesehatan, salah satunya harus kembali di tes setelah 10 hari.
Hal ini juga ikut disuarakan oleh netter e100. Menurut mereka, menjadi sia-sia belaka jika mereka harus membayar biaya untuk rapid test, namun hasilnya juga belum tentu akurat.
“Rapid tes itu deteksi antibodi/imun tubuh.. bukan deteksi virus, apa lagi virus yg spesifik..,” tulis Andry Anggriawan melalui e100.
“Coba biaya swab test ditekan. Dan produksi nasional ditingkatkan. Krn rapid test ini gak akurat,” tulis Sam Samalo.
Sementara itu Sholeh seorang pendengar Radio Suara Surabaya juga sempat menyoroti penggunaan rapid test sebagai alat deteksi Covid-19. Menurutnya, rapid test sudah tidak bisa lagi dijadikan patokan seseorang terjangkit Covid-19 atau tidak.
“Saya heran kenapa bu Wali membuat perubahan seperti ini. Bukannya sudah ada aturan diatasnya untuk protokol kesehatan. Saya sendiri tidak setuju dengan rapid test, karena hanya mendeteksi antibody seseorang, kenapa itu dipakai?…. Apa betul itu bisa dipertanggung-jawabkan alat seperti itu?” ujar advokat yang juga melayangkan gugatan tentang rapid tes sebagai prasyarat perjalanan, kepada Mahkamah Agung ini.
Disisi lain, Irvan Widyanto Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya menegaskan, Perwali 33/2020 ini berlaku dan diundangkan di Surabaya sejak Senin 13 Juli 2020. Bukan berlaku untuk Surabaya Raya. Sehingga, pekerja yang pulang pergi Gresik-Surabaya atau Sidoarjo-Surabaya wajib patuh pada aturan ini.
Aturan ini dibuat setelah melihat tren Covid-19 di Surabaya yang diklaim turun sekarang ini bisa dipertahankan dengan penerapan aturan di Perwali.
“Jangan sampai tren turun, lalu naik lagi. Sehingga kita ingin betul-betul turun dan tuntas,” kata Irvan.(tin/rst)