Pemerintah berencana menerapkan sanksi tegas kepada anggota masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan, dalam upaya menekan penyebaran Covid-19.
Terkait rencana itu, Prof Dr Bagong Suyanto, pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan bahwa pendekatan subkultur dan gaya hidup lebih efektif dibanding sanksi.
Bagong menyayangkan wacana pemerintah mengembangkan perilaku baru masyarakat disampaikan secara vulgar. Pemerintah berupaya menegakkan protokol kesehatan dengan pendekatan sanksi dan menekankan manfaat dari sisi medis. Bagi sebagian masyarakat, cara seperti ini tidak mengena di hati mereka.
“Kalau hanya mengandalkan sanksi, yang terjadi malah kucing-kucingan. Tidak mungkin orang taat hanya dengan ancaman sanksi-sanksi. Semakin diancam justru semakin resisten. Sedangkan jika dengan pendekatan subkultur dan gaya hidup, dapat membuat masyarakat menurut dan tidak merasa terpaksa,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (14/7/2020).
Terlebih, saat ini perekonomian rakyat Indonesia sudah terdampak pandemi. Mereka tidak bekerja, tidak punya penghasilan, dan sebagainya. Mereka berat untuk membeli dan memakai masker. Bahkan ada yang memilih pasrah dan menganggap mati dan hidup itu urusan Tuhan. Salah satu contoh ektremnya, anak-anak marginal tidak takut meminum alkohol 80 persen dicampur pentol korek dan losion anti nyamuk. Apalagi virus corona.
Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang berbeda-beda agar semakin banyak orang yang menerapkan protokol kesehatan. Misal tentang kewajiban penggunaan masker yang dikaitkan dengan konstruksi kultural.
“Masing-masing kelompok masyarakat bisa dibuatkan masker yang bervariasi tergantung gaya hidup, kebiasaan dan kegiatannya. Kalau kelompok keagamaan, didekatkan dengan pemuka agamanya. Anak muda didekatkan dengan kebiasaan mereka. Seperti pemakaian behel (kawat gigi) yang meski sakit tapi diminati karena sudah jadi gaya hidup,” kata Bagong.(iss)