Tidak hanya memberikan tanggapan soal penerapan syarat hasil negatif PCR dan Rapid Test untuk perjalanan orang, Perhimpunan Dokter Patologi Klinik (PDS PatKlin) memberikan saran dan masukan kepada pemerintah.
PDS PatKlin menyarankan agar Kementerian Kesehatan, melakukan evaluasi terhadap metode pengetesan Covid-19 sebagai syarat bagi orang yang hendak melakukan perjalanan seperti diatur dalam Surat Edaran Gugus Tugas Covid-19.
Di dalam Surat Tanggapan PDS PatKlin atas SE 9/2020 tentang Persyaratan Perjalanan Orang yang ditandatangani Dr dr Aryati Ketua Umum PDS PatKlin, 6 Juli lalu, organisasi profesi ini menyarankan pemerintah menjajaki metode tes lain.
PDS PatKlin menyarankan penjajakan Tes Molekuler Cepat (TCM) PCR atau dengan tes cepat antigen (bukan antibodi), baik dengan metode swab (seperti tes PCR) atau dengan sample saliva (ludah), karena hasilnya bisa lebih cepat keluar sehingga bisa dilakukan sesaat sebelum orang melakukan perjalanan.
“Namanya juga penjajakan. Jajaki dulu kemungkinan-kemungkinannya dengan penelitian. Saya kira Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang bisa melakukan evaluasi ini,” kata dr Aryati kepada suarasurabaya.net, Senin (13/7/2020).
TCM PCR, kata Aryati, sudah banyak digunakan oleh sejumlah rumah sakit di Indonesia. RSUD dr Soetomo tempat dirinya bertugas, juga sudah menggunakan alat ini selain menggunakan real-time PCR. Harga dan kemampuan metode ini, menurutnya hampir sama.
“Kalau real time itu satu-satu, TCM itu bisa lebih banyak. Kami (di RSUD dr Soetomo) punya yang mampu melakukan 94 tes dalam waktu empat jam. Harganya saya kira juga hampir sama. Jadi saya kira di Bandara misalnya, bisa ditempatkan alat ini,” katanya.
Kalau Balitbangkes menganggap metode TCM PCR itu kurang tepat diterapkan di stasiun atau di bandara, masih ada alternatif tes cepat antigen yang bisa diterapkan. Aryati mengakui, selama ini ini tes cepat antigen belum pernah dipakai di Indonesia. Tapi di negara lain, metode itu terbukti efektif.
Perbedaan tes cepat antigen dengan antibodi yang belakangan banyak dipakai di Indonesia adalah sasaran deteksinya. Kalau tes antibodi yang disasar adalah antibodi seseorang yang berfungsi melawan virus, antigen langsung mendeteksi virus yang ada di dalam tubuh seseorang.
Karena itulah, seperti pernah dia jelaskan kepada Radio Suara Surabaya, sensitivitas dan efektivitas tes antigen lebih tinggi dibandingkan dengan tes antibodi. Ahli patologi klinik PDS PatKlin sudah membuktikan rendahnya sensitivitas tes cepat antibodi itu melalui survei post market.
“Gugus Tugas Covid-19 itu, kan, merekomendasikan 175 merek rapid test antibodi. Kami melakukan survei post market dan menemukan ada 63 merek yang beredar di berbagai daerah di Indonesia. Memang sensitivitasnya antara 11-100 persen, sangat variatif dan cenderung rendah,” katanya.
Rendahnya sensitivitas rapid test antibodi inilah yang menyebabkan seringnya muncul false negatif (negatif palsu) dalam hasil tesnya ini. Hal ini ternyata juga membuat bingung para tenaga medis yang menangani pasien. Dia seringkali mendapat keluhan dari rekannya sesama dokter.
“Ini tadi ada teman yang bingung, hasil rapid test pasiennya reaktif. Tapi setelah tes PCR, hasilnya negatif. Dia tanya, pasien ini harus digolongkan pasien Covid-19 atau tidak? Saya tanya, gejalanya bagaimana? Kalau tidak ada gejala, abaikan rapid testnya. Berarti pasien itu tidak Covid-19,” katanya.
Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan kenapa PDS PatKlin menyarankan agar pemerintah menjajaki metode lain untuk menegakkan diagnosis Covid-19, bukannya mengeluarkan kebijakan memberikan batas atas harga rapid test antibodi Rp150 ribu.
Aryati menegaskan, harga rapid test dengan puluhan, bahkan ratusan, merek yang beredar di Indonesia memang tidak murah dan sangat variatif. “Memang harganya mahal, lho. Rata-rata Rp200 ribu ke atas. Ya, kan, enggak mungkin kemudian rumah sakit menerapkan tarif Rp150 ribu. Itu belum APD yang dipakai tenaga medisnya,” katanya.
Kembali pada masalah syarat perjalanan orang. Aryati menegaskan, PDS PatKlin memang menilai bahwa saat ini syarat menggunakan rapid test kurang pas. Lebih baik swab PCR di tempat, tapi dengan metode yang hasilnya lebih cepat keluar.
Kalau ternyata hasil evaluasi Baltbangkes Kemenkes (kalau saran PDS PatKlin dilaksanakan pemerintah) menunjukkan TCM PCR dan Tes Cepat Antigen ternyata tidak memungkinkan diterapkan sebagai syarat perjalanan orang, dia menekankan, lebih baik pemerintah memperketat penerapan protokol kesehatan.
Sebab itulah, dalam poin kedua Surat Tanggapan PDS PatKlin atas SE 9/2020 Gugus Tugas Covid-19 Pusat itu juga disebutkan sejumlah saran seperti pengawasan ketat penerapan protokol kesehatan orang yang menggunakan sarana transportasi umum.
“Pemakaian masker yang benar, face shield, penyediaan fasilitas cuci tangan di stasiun atau bandara. Itu saja yang lebih penting, sebenarnya. Juga pengecekan suhu tubuh pakai thermal scanner. Saya tambahkan lagi, pengecekan saturasi udara,” ujarnya.
Pengecekan saturasi udara orang yang hendak melakukan perjalanan, kata dia, juga efektif untuk mendeteksi orang itu berpotensi terjangit Covid-19 atau tidak. Dia menyarankan alat fingertip pulse oximeter yang harganya cukup murah.
“Tidak mahal, kok, alatnya. Fingertip itu sekitar Rp300 ribu. Dia dipasang di jari gitu supaya tahu saturasi oksigen orang itu normal atau rendah. Kalau di bawah 90 itu rendah, sehingga bisa dilakukan tindakan antisipasi,” katanya.
Selain semua saran itu, terakhir, PDS PatKlin juga menyarankan penyedia transportasi memastikan sirkulasi di dalam kendaraan, apakah itu bus, kereta api, bahkan pesawat, terjaga. Aryati menyarankan, pemerintah, terutama Kemenhub, bisa memikirkan ini.(den/iss/ipg)