Polda Lampung menahan oknum pegawai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur terkait perkara dugaan pemerkosaan anak di bawah umur yang dititipkan di UPT P2TP2A setempat.
“Belum sampai sepekan, akhirnya Polda Lampung telah menahan pelaku. Penahanan dimulai sejak Sabtu,” kata Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad Kabid Humas Polda Lampung, di Bandarlampung, Senin (13/7/2020).
Dia melanjutkan terduga pelaku pemerkosaan kooperatif sehingga dapat memenuhi panggilan penyidik untuk dilakukan penahanan dan penyidikan lebih lanjut.
“Saat ini masih kita dalami lebih lanjut, karena terduga baru kita tahan. Nanti akan kembangkan,” kata dia, seperti dilaporkan Antara.
Pandra menambahkan untuk pelaku dikenakan pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Ancaman penahanan untuk pelaku selama 15 tahun.
“Ancaman paling berat, jika terbukti pelaku akan diancam hukuman mati,” kata dia lagi.
Sebelumnya, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Lampung Timur yang diduga melakukan kekerasan seksual kepada anak segera dipecat dan ditindak tegas sesuai peraturan dan perundang-undang yang berlaku.
Ia juga meminta Zaiful Bokhari Bupati Lampung Timur untuk segera menonaktifkan pelaku dari P2TP2A Lampung Timur karena diduga melakukan perkosaan kepada anak korban kekerasan seksual yang seharusnya dia lindungi.
Menurut Bintang, sebagai anggota P2TP2A Lampung Timur yang seharusnya melindungi korban, pelaku bisa diancam dengan pemberatan hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, penjatuhan pidana sepenuhnya menjadi kewenangan penegak hukum.
“Pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai Undang-Undang,” tuturnya.
Menurut Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, ancaman hukuman pidana kepada pelaku kejahatan seksual anak diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman pidananya atau maksimal 20 tahun bila pelaku merupakan aparat yang menangani pelindungan anak.
Pemberatan hukuman juga dapat berupa pidana tambahan dalam bentuk pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
“Saya sangat menyesalkan kasus ini terjadi dan dilakukan terlapor yang merupakan anggota lembaga masyarakat yang dipercaya dan sebagai mitra pemerintah dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.
Menurut Bintang, P2TP2A juga merupakan lembaga yang dipercaya sebagai rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.(ant/iss/ipg)