Jumat, 22 November 2024

Pengembalian Aset BNI Sulit Pasca-ekstradisi Maria Pauline Lumowa

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Maria Pauline Lumowa, buronan pelaku pembobolan Bank BNI (tengah) berjalan dengan kawalan polisi usai tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Foto : Antara

Dradjad Hari Wibowo mantan Komisaris BNI mengaku kurang yakin soal pengembalian aset (recovery asset) BNI setelah ekstradisi Maria Pauline Lumowa (MPL) tersangka L/C Fiktif bank BNI ke Indonesia dari Serbia.

Menurut Dradjad, kasus ini sudah lama atau 17 tahun sehingga akan sulit untuk menelusurinya, apalagi kejahatan perbankan ini, asetnya cepat berpindah-pindah.

“Dari sisi recovery asset, saya kurang terlalu yakin atau mungkin kurang yakin karena kasusnya sudah lama. Dan kalau kejahatan kerah putih itu biasanya dananya atau asetnya bisa berpindah lebih cepat, sehingga lebih sulit menelusurinya. Contoh konkritnya begini, katakanlah pengadilan atau penyidik maupun aparat penegak hukum lainnya bisa menelusuri ibu Maria ini punya aset X misalkan di Belanda itu nanti harus kita buktikan dan itu tidak gampang, apalagi sudah 17 tahun,” ujar Dradjad kepada suarasurabaya.net, Jumat (10/7/2020).

Jadi, dari sisi recovery asset, Dradjad masih kurang yakin, apalagi BNI juga sudah menyelesaikan ini secara korporasi.

“Begitu sudah dibukukan dan kemudian BNI juga sudah melakukan perbaikan, dimana saat itu saya sebagai komisaris ikut membantu melakukan perbaikan yang dipimpin oleh Mas Sigit Pramono sebagai Dirut,” kata Dradjad yang saat itu diminta menjadi Komisaris BNI setelah bank tersebut terkena kasus L/C Fiktif.

Kalau dari sisi campur tangan Belanda, menurut dia, karena MPL ini sudah menjadi warga negara Belanda, maka pemerintah Belanda biasanya akan ikut memberikan bantuan hukum kepada warganya.

Tapi Belanda ini negara yang sangat terbuka pemerintahnya. Artinya bisa dikritisi setiap saat oleh media.

“Jadi asal proses hukum di Indonesia berjalan dengan benar, saya rasa pemerintah Belanda juga tidak akan bisa campur tangan terlalu banyak. Jadi posisi pemerintah Indonesia dalam hal ini posisi aparat penegak hukum di Indonesia sangat kuat terhadap apapun yang akan dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tapi memang membuat masalahnya lebih complicated (rumit) karena yang kita adili sekarang adalah warga negara Belanda,” jelasnya.

Untuk itu, kata Dradjad, sangat krusial, bagi aparat penyidik harus bekerja secara profesional, perlu keahlian yang tinggi dan bersih supaya tidak menimbulkan ekses-ekses sampingan.

“Apalagi kan pada saat kasus ini meledak pada tahun 2003 ya itu banyak gosip yang beredar tentang apa yang dilakukan oleh Maria dan juga oleh Adrian Waworuntu dua nama itu kan yang paling diproses saat itu,” kata Dradjad.

“Banyak berita yang beredar mengenai keterkaitan dengan pihak-pihak tertentu, ya saya rasa ini mudah-mudahan bisa diklarifikasi dan bisa diungkap di pengadilan karena kalau secara logika perbankan itu sulit diterima akal bahwa satu cabang yang nggak terlalu besar begitu itu bisa memunculkan sampai memberikan fasilitas L/C sampai nilainya Rp 1,7 triliun. Jadi sangat sulit diterima logika biasa maupun logika perbankan,” imbuhnya.

Dradjad menngaku saat menjadi komisaris di BNI sampai kemudian menjadi anggota legislatif dari PAN memang fokus BNI pada saat itu bukan untuk mengejar kasusnya, karena kasus ini sudah ditangani oleh aparat penegak hukum.

“Jadi fokus kami waktu itu lebih ke perbaikan sistem pengawasan internal di BNI dan untuk mencegah kasus-kasus seperti ini terulang dan kemudian juga untuk melakukan recovery semampu mungkin terhadap aset-aset yang bobol dan kemudian melakukan langkah korporasi.

“Jadi di BNI waktu itu kami lebih berfokus untuk ke depannya yaitu perbaikan sistem pengawasan internal sehingga kita tidak menulusuri lagi apa yang terjadi dibalik skandal L/C tadi itu. Kita serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum,” tegasnya.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs