Peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menemukan peningkatan kandungan klorin, di Sungai Kalimas Surabaya selama pandemi Covid-19.
Klorin sendiri adalah zat kimia yang banya ditemukan di disinfektan, pembunuh kuman, pembersih langai, dan pemutih pakaian.
Eka Chlara Budiarti Peneliti Ecoton mengatakan, zat klorin yang terdeteksi saat melakukan uji kualitas air di Sungai Kalimas di bawah Jembatan Petekan, Surabaya Juli 2020 meningkat dibanding pada April 2020 lalu.
“Di Petekan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan polusi Klorin dari 0,17 ppm (parts per million) pada pengujian 16 April, meningkat pada pengujian Selasa (7/7/2020) menjadi 0,20 ppm. Untuk standar air bersih, klorin tidak boleh lebih dari 0,03 ppm,” kata Eka.
Kondisi ini terbilang berbahaya. Sebab, sungai menjadi perantara masuknya limbah dari daratan ke lautan. Kalimas sendiri merupakan muara dari sungai Brantas.
Selain klorin, peneliti Ecoton juga melakukan uji TDS (total dissolved solid) atau ion-ion terlarut dalam air termasuk didalamnya ion logam berat. Uji TDS dilakukan untuk mengetahui tingkat potensi pencemaran logam berat dalam sungai.
“Standar TDS di air Sungai tidak boleh lebih dari 500 ppm, sedangkan di Petekan TDS mencapai 3100 ppm temuan ini menunjukkan tingginya polutan logam berat dalam air Kalimas bagian hilir,” ujarnya.
Pencemaran sungai ini juga ditunjukkan dengan rendahnya nilai dissolved oxygen (DO) atau kandungan oksigen terlarut dalam air.
“DO di Petekan 1,68 ppm sedangkan standar air kelas 2 tidak boleh kurang dari 4 ppm. Pertumbuhan yang optimum ikan dalam air membutuhkan DO sekitar 2,6 ppm. Jika dalam air Kalimas DO hanya 1,68 ppm maka bisa dikategorikan Kali Mas tidak layak untuk kehidupan ikan,” katanya.
Selain itu, kandungan mikroplastik di sungai ini juga menunjukkan jumlah tertinggi dibanding dengan sungai di Mlirip, Karang Pilang, Joyoboyo, dan Kayun. Di Kalimas, jumlahnya sekitar 2,92 partikel dalam 1 liter air.
Eka menyebut selain buruknya sistem pelayanan sampah, perilaku masyarakat yang menggunakan plastik sekali pakai memicu tingginya volume sampah plastik.
“Apalagi saat pandemi Covid-19 sejak awal 2020 hingga pertengahan 2020, membuat masyarakat semakin masif menggunakan packaging sekali pakai baik makanan minuman maupun barang keperluan rumah tangga lainnya,” jelasnya.
Mikroplastik di Kalimas umumnya berasal dari plastik jenis sekunder, yaitu berasal dari sampah plastik yang terdegradasi menjadi ukuran lebih kecil karena proses fisik atau proses paparan sinar matahari.
“Jenis sampah plastik yang menjadi sumber mikroplastik banyak ditemukan mengapung di Kalimas seperti botol plastik minuman, tas kresek, styrofoam, sedotan, bungkus minyak goreng, sachet makanan dan sampah popok sekali pakai,” kata Eka.
Lebih lanjut Eka dan tim Ecoton, juga melakukan identifikasi merk-merk bungkus yang menjadi sampah di Kali Mas, dan didapatkan bahwa 58 persen sampah yang terapung adalah botol plastik air minum dalam kemasan.
“Diperlukan tanggung jawab produsen atas sampah produk mereka, selain itu Pemkot Surabaya dan pengelola sungai harus mampu mengendalikan meningkatnya volume sampah plastik di sungai dan terakhir konsumen atau masyarakat harus mengurangi perilaku menggunakan plastik sekali pakai,” ujarnya.
Eka menyebut mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh ikan atau manusia akan menimbulkan gangguan hormon dan imunitas. Mikroplastik juga mudah mengikat polutan seperti logam berat, pestisida dan kuman dalam air. (bas/tin/ipg)