Pasangan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak diprediksi meningkat di tahun 2020 ini. Alasannya, ruang interaksi sosial untuk kampanye terbatasi akibat pandemi Covid-19.
Keadaan itu membuat partai politik lebih memilih bakal calon yang sudah punya bekal elektabilitas tinggi dan sumber daya yang kuat.
Efek pandemi juga membuat sumber daya yang dimiliki para calon lawan di daerah semakin mengecil. Modal mereka untuk mengikuti pesta demokrasi tak signifikan sehingga opsi mundur dari perhelatan pilkada menjadi pilihan.
Menanggapi hal itu, Guspardi Gaus anggota Komisi II DPR tidak menafikan keadaan pandemi bisa berakibat terjadinya calon tunggal di pilkada 2020. Hal ini, menurutnya, menjadi kesempatan empuk bagi incumbent untuk mengikuti kembali pilkada dengan cara meraup dukungan semua partai di daerah sehingga tak ada lagi calon sebagai pesaing. Guspardi mengkritik cara seperti itu.
Pasalnya, hal tersebut bisa berdampak buruk bagi pendidikan politik masyarakat. Masyarakat disuguhi cara pandang politik yang mengedepankan menang adalah pilihan. Padahal, adu gagasan untuk kemaslahatan daerah adalah esensi dari digelarnya pilkada.
“Pemilu dalam demokrasi itu apa? Itu kan pertarungan antara satu kandidat dengan kandidat yang lain, bukan antara satu kotak dengan kandidat atau sebaliknya,” kata Guspardi di Jakarta, Senin (6/7/2020).
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengungkapkan masyarakat masih sering menjadi korban akibat buruknya pola persaingan politik oleh para kandidat kepala daerah. Contoh nyata untuk hal ini adalah politik uang (money politic) yang masih menjadi siasat terselubung oleh para kandidat. Padahal, hal itu berefek buruk bagi demokrasi.
Fenomena calon tunggal yang memanfaatkan situasi pandemi untuk maju sendirian di pilkada menambah daftar metode culas yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Guspardi mendesak agar cara seperti itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.
“Saya sebagai anggota DPR tentu mengimbau kepada masyarakat, kepada para tokoh, apalagi para petinggi partai untuk menghindari calon tunggal itu,” tegasnya.
“Kita kan harusnya adu konsep, adu gagasan mau dibawa ke mana daerah, mau dibawa ke mana masyarakat,” sambungnya.
Jika dilihat, tren pasangan calon tunggal terus meningkat di tiga gelombang pilkada serentak. Fakta ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada 2020.
Pada pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di 2017, pilkada yang melibatkan 101 daerah juga memperlihatkan 9 daerah menggelar pilkada dengan kondisi yang sama. Jumlah itu semakin meningkat di pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.
Menurut Guspardi, tren itu bisa ditekan jika partai politik di daerah mampu menghadirkan sosok-sosok baru yang punya visi dan misi kuat. Kandidat inkumben, kata dia, juga harus berjiwa besar untuk tak menuruti hasratnya maju sendirian untuk mendapatkan kembali kursi kepemimpinan.
“Jangan melakukan metode-metode yang ingin mengambil seluruh partai sehingga tidak bisa bagi sosok lain untuk tampil sebagai lawan,” ujarnya.
Legislator dari daerah pemilihan Sumatera Barat II ini menegaskan kalah dan menang tak bisa dijadikan esensi utama dalam pilkada. Tapi, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya. Tujuannya dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat.
“Kita malu, masa yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak,” pungkas anggota Baleg DPR tersebut.(faz/tin)