Suko Widodo Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, ada konstruksi yang salah dengan pola komunikasi pemerintah dalam sosialisasi wabah Covid-19, sehingga informasi yang diterima masyarakat bias dan tidak akurat.
Banyaknya informasi yang tidak jelas kebenarannya di tengah-tengah masyarakat mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dengan pemerintah. Sehingga ke depan, pesan yang disebarkan menjadi tidak tersampaikan dengan baik.
“Ada konstruksi yang salah komunikasi pemerintah. Kalau tidak ditangani, maka akan ditinggalkan masyarakat. Kepercayaan kepada pemerintah saat ini sangat rendah. Pemerintah cenderung hanya mengadakan selebrasi berlebihan dan administrasi yang merumitkan,” kata Suko Widodo kepada Radio Suara Surabaya, Kamis (2/7/2020).
Ia menyebut, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah soal persebaran informasi ini membuat seolah masyarakat dan pemerintah berjalan sendiri-sendiri.
“Ini tidak dilakukan dengan baik sehingga terjadi losing communication. Masyarakat berjalan sendiri, pemerintah berjalan sendiri. Seperti masyarakat hanya sebagai penonton tapi tidak terlibat dalam game. Kalau publik tidak diajak ngomong, maka tidak ada gerakan yang bagus,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia belum ada yang melakukan audit komunikasi atau evaluasi program-program komunikasi tentang sosialisasi wabah Covid-19. Padahal, hal ini tertuang di UU Informasi Keterbukaan Publik Nomor 14 Tahun 2008, yang mana lembaga publik seperti pemerintahan, kepolisian, bahkan NGO, diwajibkan melaporkan apa yang telah dilakukan.
Namun Suko menyebut, audit komunikasi tersebut belum pernah dilakukan dengan baik. Sehingga yang terjadi, masyarakat tidak memahami betul pesan apa yang ingin disampaikan oleh pemerintah tentang wabah Covid-19 ini.
“Misalnya, ‘kenapa di tempat Anda Covid-19 meningkat, apa belum sosialisasi?’ Dijawab ‘Sudah, sudah kami melakukan ini, ini,’. Nah, kata sudah ini tidak disertai audit komunikasi. Seperti bertanya kepada publik, tahu gak kualitas masker? apa yang disebut physical distancing? Ada kegagalan komunikasi di konteks pandemi ini. Padahal kunci partisipasi publik adalah komunikasi,” jelasnya.
Kebingungan ini bahkan juga menimpa para kalangan intelektual. Kata Suko, mereka bahkan banyak yang gelisah dan sulit tidur karena mereka tidak tahu tentang keakuratan informasi yang ada.
Misalnya tersiarnya kabar tentang banyaknya dokter dan tenaga kesehatan yang terjangkit Covid-19. Kemudian beberapa saat, ada petugas media yang mengatakan data itu bocor dan merupakan rekaman dari staf tenaga kesehatan biasa. Info yang tidak akurat di tengah situasi Covid-19 akhirnya menimbulkan kebingungan sendiri di masyarakat.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah meminta bantuan media untuk menyatukan persepsi soal wabah Covid-19 ini. Karena menurutnya, media merupakan alat yang paling berpengaruh karena dapat menjangkau publik secara luas.
“Itu lah yang kita bilang di situasi genting ini perlu mengumpulkan owner media, minta bantuan, kita itu harus apa. Kalau pemimpinnya sibuk bisa didelegasikan ke humas,” ujarnya.(tin/ipg)