Persoalan lingkungan, mulai dari eksplorasi hingga kebijakan lingkungan terdampak pandemi Covid-19, dan itu berpengaruh bagi ekonomi, politik, sosial, budaya hingga sastra. Penyair Indonesia dan Australia, mengupas itu secara webinar.
Program studi Sastra Inggris Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya mengupas persoalan lingkungan yang terdampak pandemi Covid-19, dengan titik berat sastra antara dua negara, Indonesia dan Australia. Penyair Australia dan Indonesia mengupasnya dalam webinar bertajuk: Lingkungan, Prosa, dan Puisi.
Hadir sebagai narasumber pada webinar kali ini adalah Dr. John Charles Ryan, visiting scholar di Untag Surbaaya, Ramayda Akmal dosen UGM Jogjakarta sekaligus novelis, bersama penyair F. Aziz Manna.
F. Aziz Manna penyair membuka webinar yang diikuti sekurangnya 150 peserta dari berbagai kalangan ini, bahwa lingkungan, terutama dengan perubahannya, dalam sastra juga menjadi satu diantara tema yang kerap digarap oleh para penulis.
Penyair pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tersebut menekankan bahwa dalam menghadapi perubahan lingkungan tersebut diperlukan pengendapan agar terhindar dari karya sastra yang instan. Perubahan kondisi dunia karena Covid-19 direspons oleh penulis untuk menghasilkan karya sastra, mulai dari penerbitan antologi baik bersama maupun individu, sayembara, maaupun diskusi.
“Persoalan-persoalan sastra hanya menjadi semacam ‘kenyinyiran’ saja karena dipaksakan pada persoalan-persoalan yang sedang ‘booming’ dalam hal ini adalah persoalan pandemi Covid-19. Sastra bagaimanapun tetap membutuhkan pengendapan,” terang Aziz Manna.
Ramayda Akmal menimpali bahwa dalam kondisi sedih dan kesulitan saat ini, di tengah pandemi Covid-19 justru menjadi sumber kreativitas. “Menulis adalah kerja soliter, artinya kondisi ini justru menjadi situasi yanng tepat. Namun, tentu saja latihan itu penting,” papar Ramayda kandidat doktor dari Hamburg University tersebut.
Ramayda menambahkan bahwa tema lingkungan dalam karya sastra merupakan tema yang telah lama muncul dalam karya sastra Indonesia. Dalam ranah kritik dan penelitian, lingkungan juga menjadi wacana tidak habis untuk dieksploarasi, misalnya tentang pertentangan antara kebijakan negara dengan kebijakan masyarakat (indigenous local) dan hubungan antara rural dan urban yang selalu muncul secara konsisten di sastra Indonesia.
“Karya sastra juga bisa tampil sebagai ramalan-ramalan tentang masa depan. Misalkan tentang wabah corona ini, Albert Camus pernah menciptakan karya sastra berjudul ‘Sampar’, yaitu wabah yang menyerang umat manusia,” tambah Ramayda penulis novel Jatisaba itu.
Di bagian akhir webinar John Charles Ryan menyampaikan bahwa karya sastra seringkali merupakan refleksi penulis terhadap kondisi lingkungan yang dihadapinya. Satu diantara contoh adalah kebakaran hutan di Australia, hilangnya fungsi lingkungan bagi hewan-hewan, menjadi inspirasi bagi penulis.
“Memahami tradisi penggunaan tanaman atau tumbuh-tumbuhan dalam karya sastra memerlukan kajian teori yang luas, gaya yang bervariasi, dan latihan yang cukup sehingga menemukan kemungkinan penggunaan bahasa baru. Banyak puisi, khususnya sepuluh tahun terakhir, memandang tanaman secara lebih luas, dari sekedar objek yang indah atau benda yang dieksploitasi,” pungkas John Charles Ryan, Rabu (1/7/2020).(tok/tin)