Sabtu, 23 November 2024

Komisi X DPR Tuding Kerja Sama Kemendikbud dengan Netflix Bermotif Bisnis

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan kebijakan mulainya tahun ajaran baru sekolah dan tahun akademik 2020-2021 dalam forum rapat virtual, Senin (15/6/2020). Foto : YouTube Kompas TV

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi menggandeng penyedia layanan streaming Netflix untuk memperkuat program Belajar dari Rumah (BDR) selama masa pandemi Covid-19.

Ali Zamroni Anggota Komisi X DPR RI menanggapi keputusan Kemendikbud itu dengan sejumlah catatan kritis.

“Pertama, Netflix diketahui belum membayar pajak, sehingga mendapat sorotan dari Menteri Keuangan (Menkeu),” ujarnya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/6/2020).

Berdasarkan data Kemenkeu, khususnya PMK Nomor 48 Tahun 2020 yang mengatur tentang Penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi subjek pajak luar negeri, Netflix belum memenuhi kewajibannya kepada negara.

Kedua, politisi Partai Gerindra itu juga mempertanyakan legalitas Netflix di Indonesia. Status karyawan yang bekerja di Netflix juga dikritisi legislator Dapil Banten 1 tersebut.

Legalitas Netflix masih bermasalah. Selama mereka beroperasi, izin perusahaannya apa sudah terdaftar? Kita juga harus mempertanyakan bagaimana status para karyawan yang bekerja di Netflix karena status perusahaanya kan yang belum jelas,” tegas Ali

Lebih lanjut, Ali menilai kerja sama yang dilakukan Kemendikbud dan Netflix lebih condong pada kepentingan bisnis.

“Kerja sama Kemendikbud dengan Netflix itu patut diduga bermotif kepentingan bisnis yang berujung pada komersialisasi pendidikan. Kita tahu latar belakang Mas Menteri (Nadiem Makarim) kan pebisnis. Saya khawatir ada conflict of interest antara kementerian ini dengan Netflix. Jangan sampai dunia pendidikan ini terus menerus dikomersilkan karena memanfaatkan bencana Covid-19 ini,” kata Ali.

Terkait konten Netflix, Ali juga menilai banyak yang tidak layak dikonsumsi pelajar di bawah umur.

Pengawasan terhadap isi konten Netflix bukan cuma disorot kalangan legislator, tetapi Kemkominfo, Komisi penyiaran Indonesia (KPI), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan akademisi.

“Saya memastikan Kemendikbud belum mengajak bicara instansi seperti Kominfo, KPI, BRTI dan kalangan akademisi dalam hal konten Netflix. Konten Netflix perlu dikaji lebih jauh karena banyak yang tidak layak dikonsumsi pelajar. Jangan sampai kerjasama ini malah muncul masalah baru,” tambah Ali.

Pada kesempatan itu, Ali menduga Kemendikbud belum melakukan kajian secara komperhensif terkait kerja sama dengan Netflix.

Ali mengingatkan Kemendikbud harus punya kerangka berpikir secara utuh sebelum mengambil kebijakan. Kemendikbud tidak boleh Jakartasentris, tapi harus Indonesiasentris.

Dia menyebut, faktanya masih banyak daerah yang belum bisa mendapat sinyal internet, terutama di daerah-daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

“Sudah dikaji belum secara utuh kerja sama itu? Jangankan menikmati tayangan Netflix, untuk mengakses internet saja kan masih banyak yang kesulitan. Terutama di daerah-daerah 3T. Pemerataan akses internet masih belum optimal,” tegas Ali.

Ali pun menyayangkan kerja sama Netflix dan Kemendikbud di tengah potensi TV Edukasi yang belum optimal.

Padahal, menurut Ali, di Kemendikbud ada Pustekkom atau TV Edukasi sebagai televisi pendidikan yang berada di bawah kementerian langsung.

Ali sendiri mengaku pernah datang langsung ke Studio TV Edukasi Pusdatin/ Pustekkom Kemendikbud. Menurutnya peralatan dan jaringan lengkap, SDM juga sudah sangat baik.

“Di Kemendikbud itu ada TV Edukasi, justru menjadi pertanyaan kenapa Kemendikbud malah bekerja sama dengan Netflix? Ini kan perlu kita kritisi ada apa sebenarnya dengan kerja sama Netflix dan Kemendikbud. Harusnya Kemendikbud kuatkan TV Edukasi dengan menambah anggarannya. Itu saja dikuatkan, tidak perlu bekerja sama dengan Netflix,” pungkasnya.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs