Sabtu, 23 November 2024

DMII Dukung Edukasi Bencana Masuk Kurikulum

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan
Ilustrasi

Lembaga pelatihan dan riset untuk manajemen tanggap bencana di bawah naungan ACT Foundation, yakni Disaster Management Institute of Indonesia (DMII), mendukung kebijakan pemerintah untuk memasukkan edukasi bencana ke dalam kurikulum, karena mayoritas kawasan di Indonesia merupakan kawasan rawan bencana.

“Itu sangat mendesak, karena kebijakan pembangunan kita masih sangat tidak promitigasi bencana, padahal kawasan ini sangat rawan. Selama ini, mitigasi bencana hanya menjadi wacana yang didiskusikan saja di seminar-seminar. Semoga bukan hanya karena tahun politik saja ya,” kata Wahyu Novyan Kepala DMII di Denpasar, Selasa (12/2/2019), seperti dilansir Antara.

Saat meninjau korban tsunami Selat Sunda di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, 2 Januari 2019, Presiden Joko Widodo meminta pemberian edukasi terkait bencana-bencana alam mulai diberikan kepada siswa-siswa sekolah, juga masyarakat secara umum pada Januari 2019. Pendidikan mengenai kebencanaan akan dimulai pada Januari ini, ujar Jokowi saat itu.

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyatakan edukasi utamanya akan dilaksanakan di daerah-daerah rawan longsor, gempa dan tsunami. Selain pemberian edukasi terkait kebencanaan, Kepala Negara juga menyampaikan bahwa pemerintah akan segera menata ulang konsep tata ruang sejumlah garis pantai yang rawan tsunami.

Menurut Wahyu Novyan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebenarnya sudah memfasilitasi adanya sekretariat nasional (setnas) Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) di bawah koordinasi direktorat Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK).

“Setnas SPAB perlu menangkap momentum dari kebijakan Presiden itu, karena Jepang mengajarkan kesiapsiagaan diri sendiri sangat penting,” katanya.

Dalam survei pascagempa Great Hanshin Awaji di Jepang (1995) terungkap bahwa mayoritas korban selamat berasal dari kesiapsiagaan diri sendiri (everyone is a life saver). Hasil survei itu mencatat 34,9 persen korban selamat karena kesiapsiagaan diri sendiri (everyone is a life saver).

Faktor lain yang menyebabkan korban selamat adalah 31,9 persen dari dukungan keluarga, 28,1 persen dari dukungan teman/tetangga, 2,6 persen korban selamat dari pertolongan orang lewat, 1,7 persen korban selamat dari dukungan regu penolong, dan 0,9 persen karena faktor lain-lain.

“Edukasi bencana itu sangat mendesak untuk mencetak kesiapsiagaan diri sendiri, apalagi mayoritas kota besar di Indonesia itu dilintasi sesar (patahan) gempa aktif dari Zona Kendeng, seperti Surabaya, Semarang, hingga Cirebon. Tahun 2010 tercatat empat sesar aktif di Jawa dengan 81 sumber gempa, namun tahun 2016 sudah mencapai 34 sesar aktif di Jawa dengan 295 sumber gempa,” katanya.

Selain itu, kota besar seperti Jakarta juga masuk peringkat kelima untuk kota rawan bencana di Indonesia. Bencana yang terjadi di Jakarta pada tahun 2017 adalah 698 kali kebakaran, 331 pohon tumbang, 68 banjir, 42 kematian luar biasa (KLB), 21 konflik sosial, 16 ongsor, dan enam baliho roboh.

“Gunung api yang aktif di Indonesia juga mencapai 127 gunung dengan 19 gunung diantaranya berstatus waspada (level II) dan siaga (level III),” katanya.

Ditanya tentang materi mitigasi bencana untuk dimasukkan kurikulum, ia mengatakan penyadaran sebagai kawasan rawan bencana merupakan hal yang cukup penting, kemudian pengenalan tiga cara mitigasi bencana yakni mitigasi kultural (komunitas dan individu), mitigasi struktural (bangunan/fasilitas publik), mitigasi sosial (keluarga tangguh), dan mitigasi spiritual.

“Mitigasi kultural itu mencakup penyadaran sebagai lingkungan rawan bencana dan beberapa cara penyelamatan, sedangkan mitigasi struktural itu mencakup penguatan infrastruktur bangunan yang tahan gempa, membuat plengsengan dan sistem drainase yang baik untuk mengurangi risiko banjir, dan penyediaan fasilitas APR di gedung, baik sekolah atau kantor,” katanya.

Untuk mitigasi sosial itu mencakup penguatan keluarga tangguh terhadap bencana sosial (kekerasan seksual, narkoba, konflik sosial, kemiskiman, dan sebagainya) melalui penguatan fisik (sandang, pangan, papan), fikir (baik-buruk, manfaat-mudharat, berpikir positif, terbuka), ekonomi (halal, hemat, syukur, zakat), sosial (tanggung jawab, peduli, tata aturan, tidak emosional), spiritual (tauhid, akhlak, ibadah), dan penguatan lingkungan (pendidikan, sehat, sosial/gotong royong-rukun).

Untuk mitigasi spiritual itu mencakup humanity (kemanusiaan berdasar ketuhanan/sadar), philantropis (kemanusiaan/menolong sesama), dan volunterism (kerelawanan). (ant/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs