Bagi milenial, keindahan batik memiliki parameter sesuai pengetahuan masing-masing, dan Kibas kembali mengedukasi dalam diskusi daring, Sabtu (13/6/2020) membahas Batik Gentongan, dengan segala keindahan dan keunikannya.
Secara harafiah Batik Gentongan diartikan sebagai selembar kain batik yang memiliki motif dengan teknik gentongan. Teknik pewarnaan alami secara tradisional didominasi warna biru atau indigo yang berasal dari daun nila.
Sebelum lahirnya pewarna sintetis, proses pewarnaan dengan teknik Gentongan ini banyak dilakukan oleh masyarakat pengrajin batik di daerah Tanjungbumi, Madura. Proses pembuatannya memang membutuhkan waktu dan usaha yang intensif, sehingga cukup mahal harganya.
“Proses pewarnaan dilakukan dengan cara mencelup kain ke pasta fermentasi nila di dalam sebuah gentong yang ditanam di tanah, sehingga teknik ini dinamakan Gentongan,” terang Lintu Tulistyantoro Ketua Komunitas Batik (Kibas), Rabu (10/6/2020).
Seperti proses pewarnaan dengan nila dari daerah-daerah pengrajin kain lain, lanjut Lintu, kain yang diwarna dengan nila tidak boleh terekspose atau terpapar sinar matahari secara langsung, karena hal itu akan mempengaruhi hasilnya.
“Biasanya karya Batik yang diwarna biru dengan teknik Gentongan, untuk pemberian warna merah dan kuning, justru menggunakan teknik sikat atau gosok. Yang jauh berbeda dengan teknik Gentongan itu sendiri. Dan ini juga menjadi satu bagian lain yang menarik dari Batik Gentongan yang eksklusif itu,” tambah Lintu.
Dalam mitos masyarakat hingga hari ini, proses pembuatan selembar kain batik dengan menggunakan teknik Gentongan ini ditandai atau didahului sebuah proses sakral yang dipercaya akan memberikan pengaruh pada hasil kain yang dibuat. Pewarnaan dengan teknik Gentongan yang disertai ritual itu konon membuat warna batik lebih menawan.
“Mitos-mitos itu masih ada di tengah masyarakat kita. Terutama dikalangan pencinta Batik dan para kolektor itu sendiri. Batik Gentongan yang dibuat dengan didahului ritual sakral biasanya harganya juga sangat mahal. Mitos ini masih ada hingga hari ini. Misalnya, cuma Gentong yang sudah dipakai untuk mewarna yang bisa menghasilkan warna bagus, atau apabila ada keluarga yg meninggal maka proses warna dalam gentong juga tidak akan berhasil. Ini masih dipercaya masyarakat,” tambah Lintu yang juga Dosen di DKV UK Petra Surabaya.
Di era modern saat ini, Batik Gentongan dalam tekniknya kemudian berevolusi seiring dengan mulai hadirnya pewarnaan sintetis serta semakin berkurangnya penggunaan pewarna alami di Batik, ditambah kebutuhan untuk menggunakan teknik Gentongan sedikit menurun.
Pewarna sintetis mampu menghasilkan warna yang tidak kalah bagus dari nila ditambah sekaligus dengan proses pengerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu lebih singkat dibandingkan ketika menggunakan pewarnaan alami yang lebih rumit dan butuh waktu lama.
Lintu menegaskan, teknik Gentongan hingga saat ini memang masih ada, dan dipakai meskipun mulai berkurang oleh para pewarna di Tanjungbumi sendiri. Saat ini para perajin atau pewarna menambahkan pewarna kimia demi menyempurnakan karyanya.
“Para pembatik di Tanjungbumi sampai saat ini ada yang masih mempertahankan identitas karya mereka melalui hasil pewarnaan yang tegas, bak masakan yang bumbunya menjadi semakin lebih mantap,” pungkas Lintu Tulistyantoro.
Sabtu (13/6/2020) dalam diskusi daring yang digelar sebagai bagian dari Diskusi Kibas 3, dijadwalkan hadir mengupas Batik Gentongan, Alim Hafidz Zulpah perajin batik asal Tanjungbumi, Madura bersama dengan Christie Djojo anggota dari Kibas Jawa Timur.
“Dengan semakin kerapnya diskusi dan edukasi dengan segala bentuknya seperti daring ini, dikarenakan masih adanya pandemi Covid-19, semoga kekayaan wastra kita semakin dikenali generasi milenial untuk kemudian dicintai dan dijaga kelestariannya. Semoga dna ini harapan kami semua,” tutup Lintu.(tok/tin/rst)