Dermawan Sekretaris Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan anak-anak menjadi sasaran eksploitasi seksual secara daring melalui berbagai cara.
“Salah satunya melalui materi yang mengandung muatan kekerasan seksual terhadap anak secara nyata atau simulasi secara eksplisit,” kata Dermawan yang dihubungi di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Eksploitasi anak secara daring juga dapat berupa bujuk rayu di dunia maya untuk tujuan seksual. Hal itu dilakukan orang dewasa menggunakan internet atau teknologi digital lain untuk membangun hubungan dengan anak.
Hubungan tersebut dimaksudkan untuk memancing, memanipulasi atau menghasut anak agar bersedia melakukan kegiatan seksual.
Bentuk lain dari eksploitasi anak secara daring adalah sexting, yaitu anak secara intens mengirimkan pesan seksual secara eksplisit atau gambar yang menunjukkan sisi seksualitas dari dirinya.
“Gambar atau video yang dikirimkan bisa berupa tampilan semi telanjang, erotis atau aktivitas seksual yang biasanya dibagikan kepada pacar atau teman dekat karena ancaman, kekerasan atau pemerasan,” katanya dilansir Antara.
Bentuk lainnya adalah pemerasan secara seksual, yaitu proses seorang anak dipaksa memberikan imbalan seks, uang dan barang berharga lainnya atau memproduksi materi seksual.
Anak juga dapat dieksploitasi melalui siaran langsung kekerasan seksual ketika seorang anak dipaksa tampil di depan kamera atau “webcam” untuk melakukan aktivitas seksual atau menjadi subjek kekerasan seksual.
Dermawan mengatakan, semua anak berhak untuk dilindungi, termasuk dari eksploitasi yang terjadi di dunia maya. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi secara jelas menyebutkan pelarangan pelibatan anak sebagai objek eksploitasi seksual daring.
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan anak terutama kejahatan seksual,” katanya.(ant/tin/dwi)