UU KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yang ada saat ini belum mengatur prostitusi online. Perkara Vanesa Angel (VA) yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur dan lainnya dikenai Pasal 27 ayat 1 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penyebaran foto dan video asusila, tapi bukan sebagai perempuan yang dilacurkan atau pedila.
Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI mengatakan, UU KUHP yang sedang direvisi saat ini harus mengatur baik untuk pelaku, pengguna, dan mucikari. Dia menceritakan kalau Soekarwo mantan Gubernur Jatim minta perempuan yang terlibat prostitusi harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya.
Sementara Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim yang baru meminta penggunanya (laki-laki) yang terlibat juga harus dikenai hukuman yang setimpal.
“Jadi, sampai hari ini Polda Jatim pun sulit mengenakan pasal prostitusi online dalam kasus Surabaya itu, karena belum diatur dalam KUHP,” ujar Nasir Djamil dalam diskusi ‘Akankan Prostitusi Masuk RUU KUHP Seperti Keinginan Polisi’ di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Nasir menceritakan setelah berkunjung ke Polda Jatim itu, jumlah artis yang terlibat mencapai ratusan. Mereka beralasan terjebak gaya hidup untuk kebutuhan perawatan kecantikan, mencicil rumah, mobil, dan barang-barang branded atau bermerek lainnya yang harganya sangat mahal.
Soal tarifnya sendiri, kata Nasir, sebenarnya bukan Rp80 juta, tapi setengahnya, atau justru di bawahnya lagi. Kata dia, menyebut harga tinggi itu hanya untuk menjaga eksistensi prostitusi, meskipun ada juga yang bertarif Rp150 juta.
Menurut dia, pasca penangkapan di Surabaya memang dunia prostitusi online tersebut sepi, namun bisa ramai lagi di tempat lain, karena prostitusi ini sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri.
“Tapi, intinya harus diatur oleh UU karena prostitusi ini melanggar etika masyarakat, aturan agama, dan tidak sejalan dengan Pancasila bahwa Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,” pungkas Nasir.(faz/iss/ipg)