Jumat, 22 November 2024

Bambang Haryo: Daripada Tambah Utang, Lebih Baik Turunkan Harga Solar

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Bambang Haryo Soekartono Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Jawa Timur. Foto: Istimewa

Bambang Haryo Soekartono Mantan Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Gerindra mengatakan, pemerintah seharusnya segera merespons koreksi harga minyak dunia yang sudah terjadi sejak awal tahun.

Seharusnya, kata dia, penurunan tajam harga minyak dunia sejak awal 2020 direspons pemerintah dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya harga solar.

Dengan turunnya harga solar yang akan turut akan menurunkan harga barang kebutuhan di dalam negeri, beban rakyat di tengah pandemi Covid-19 akan semakin ringan. Tapi pemerintah tidak melakukan itu.

Menurut Bambang, tuntutan transparansi harga solar dari berbagai pihak, sampai sekarang tidak digubris oleh pemerintah. Padahal, turunnya harga solar bisa menjadi solusi penggerak ekonomi secara mandiri.

“Penurunan harga solar bisa menjadi insentif bagi sektor-sektor usaha yang terpukul wabah korona. Manufaktur, transportasi publik dan logistik, maritim, perikanan, UMKM, serta pembangkit PLN agar tarif listrik lebih murah. Kalau sektor-sektor ini tetap hidup, PHK massal dapat dicegah dan ekonomi akan bergerak,” katanya, Rabu (3/6/2020).

Multiplier effect solar sangat besar bagi perekonomian karena mempengaruhi biaya operasional semua sektor usaha. Bambang mencontohkan, 70-80 persen biaya operasional logistik di Indonesia untuk pembelian solar.

“Jika harga solar turun, ongkos angkut tentu ikut turun, sehingga harga barang menjadi lebih murah, dan daya beli masyarakat semakin meningkat,” ujar pria yang juga Ketua Masyarakat Transportasi (MTI) Jawa Timur itu.

Pria yang maju pemilihan Bupati Sidoarjo dan mengakrabkan diri dengan nama akronim BHS itu menilai, pemerintah kurang sensitif terhadap kesulitan pelaku usaha dan masyarakat dengan membiarkan PT Pertamina (Persero) menjual solar lebih mahal dari seharusnya.

Dia mengungkapkan, harga solar dalam negeri bahkan jauh lebih mahal dari harga solar di Singapura, sebagaimana bisa dipantau dari situs harga solar termutakhir bunker-ex.com.

Bunker solar jenis MGO (HSD) di pelabuhan Singapura per 29 Mei 2020 tercatat 298,5 Dolar AS per 1.200 liter atau sekitar Rp3.600 per liter (dihitung dengan kurs rupiah Rp14.500 per dollar AS).

Harga ini lebih rendah dari harga solar nonsubsidi (HSD) di Indonesia yakni Rp7.300 per liter (per Mei 2020). Bahkan juga lebih murah dari solar subsidi di Indonesia yang sebesar Rp5.150 per liter.

Dalam keterangan pers yang diterima suarasurabaya.net, tuntutan penurunan harga solar juga disampaikan Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dia berharap pemerintah menurunkan harga BBM solar, terutama untuk memberikan angin segar terhadap sejumlah sektor usaha dan bisnis dalam negeri yang terdampak pandemi Covid-19.

“Penurunan harga BBM hal yang wajar jika merujuk harga minyak mentah dunia yang turun signifikan. Penurunan harga ini bisa menjadi insentif bagi sektor usaha yang sangat terpukul akibat pandemi,” ujarnya.

Dugaan Pembohongan Publik

BHS berpendapat, alasan Pertamina tidak menurunkan harga BBM karena membeli minyak mentah dari dalam negeri adalah pembohongan publik. Menurutnya, BUMN itu selama ini mengimpor BBM yang sudah diolah untuk dijual di pasar domestik, termasuk mengimpor minyak mentah.

Dia menilai kekhawatiran Pertamina bahwa industri hulu migas akan gulung tikar jika harga BBM diturunkan juga tidak berdasar. “Industri migas tidak akan terpengaruh, karena umumnya ekspor. Sehingga tidak bakal terjadi PHK massal seperti yang dialami sektor-sektor lain,” katanya.

Akibat menjual solar lebih mahal, lanjut Bambang Haryo, Pertamina justru mempersulit bisnisnya sendiri. Kilang Pertamina overload karena permintaan dalam negeri merosot, sementara penyuplai solar tidak lagi membeli dari Pertamina.

“Pertamina harusnya bisa bersaing dari negara lain untuk bisa jual lebih murah atau sesuai dengan harga pasar dunia. Dengan mempertahankan harga, penyuplai solar lebih memilih membeli dari Singapura,” ujarnya.

Dia meminta pemerintah tidak mengorbankan dunia usaha dalam negeri hanya untuk menyelamatkan Pertamina. Di negara ini ada 60 juta unit UMKM dan lebih dari 250.000 perusahaan besar menengah dengan jumlah pekerja 100 jutaan orang yang terdampak pandemi.

“Daripada mengorbankan mereka, lebih baik tutup saja Pertamina dan serahkan ke pengusaha yang mampu menjual BBM dengan harga lebih transparan,” tegasnya.

Bambang Haryo juga berharap Joko Widodo Presiden mengevaluasi kinerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai tidak mampu mengendalikan mafia migas sehingga harga BBM lebih mahal dari seharusnya.

Dia juga meminta Menteri BUMN Erick Tohir mengganti Dirut Pertamina karena dianggap gagal melakukan efisiensi, sehingga mengorbankan masyarakat dengan menjual solar mahal.

“Saya mengapresiasi respons Menkeu Sri Mulyani yang akan menurunkan harga BBM, terutama solar, demi pertumbuhan ekonomi. Kami akan menunggu realisasinya,” ujarnya.

Berkaca ke belakang, Bambang Haryo mengatakan bahwa Pertamina pernah menghadapi penurunan tajam harga minyak dunia pada 2016 sehingga pendapatannya merosot hingga 200 persen.

Namun, lanjut Bambang, Dwi Soetjipto yang memimpin Pertamina saat itu berhasil mendongkrak laba perseroan hingga 300 persen menjadi Rp40 triliun melalui efisiensi di berbagai bidang.

Pada 2015, total efisiensi yang berhasil dilakukan Pertamina dalam kegiatan operasional mencapai 800 juta Dolar AS. Efisiensi meningkat tiga kali lipat menjadi 2,8 miliar Dolar AS pada 2016.

“Ini luar biasa, sehingga saya kira Dwi Soetjipto layak menjadi Menteri ESDM yang tidak tunduk pada Pertamina,” ujar Bambang Haryo.

Dia bilang, Jokowi juga bisa belajar dari pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono Presiden yang pernah menghadapi lonjakan harga minyak dunia hingga 160 Dolar AS per barel pada 2012. Saat itu, solar subsidi dijual Rp4.500 per liter.

“Pemerintahan SBY mengalokasikan subsidi sampai Rp190 triliun supaya harga BBM tetap terjangkau masyarakat. Langkah ini memberikan multiplier effect bagi mayoritas UMKM dan industri yang berdampak pada PDB senilai Rp12.000 triliun, ekonomi pun tumbuh di atas 6,5 persen dan kurs menguat di posisi Rp9.000 per Dolar AS sehingga Indonesia keluar dari ancaman krisis dunia,” katanya.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs