Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap wajib belajar sembilan tahun yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sesudah melalui serangkaian persidangan, Mahkamah Konstitusi menilai negara tidak lepas tanggung jawab atas kebutuhan pendidikan warganya.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar Usman Ketua MK yang membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2019).
Gugatan uji materi tersebut diajukan Irman Putrasidin pakar hukum tata negara.
Dia menilai ada inkonsistensi ketentuan dalam UU tersebut terkait dengan komitmen negara dalam menjamin wajib belajar 12 tahun bagi seluruh warga negara. Sementara, dalam UU Pemilu mengatur salah satu syarat menjadi capres cawapres adalah pendidikan minimal SMA.
Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas mengatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Jenjang pendidikan dasar ini merujuk pada tingkat SD dan SMP yang normalnya ditempuh dalam waktu enam tahun.
Dia menilai ada inkonsistensi ketentuan dalam UU tersebut terkait dengan komitmen negara dalam menjamin wajib belajar 12 tahun bagi seluruh warga negara.
Sementara, dalam UU Pemilu mengatur salah satu syarat menjadi capres cawapres adalah pendidikan minimal SMA.
Menurut Irman, ketentuan dalam UU tersebut merugikan karena mereka yang mengikuti wajib belajar sembilan tahun tidak dapat mencalonkan diri sebagai capres-cawapres.
Namun, menurut MK, frasa ‘minimal pada jenjang pendidikan dasar’ justru menjelaskan kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar lebih dari tingkat SD dan SMP.
“Apabila ditelusuri kebijakan beberapa pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD-nya sehingga menjangkau lebih tinggi dari sekadar pendidikan dasar,” kata hakim. (rid/dwi)