Sabtu, 23 November 2024

Rekomendasi PBNU untuk Jaga Keutuhan Bangsa

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
KH. Ma'ruf Amin Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01 saat memberikan keterangan kepada wartawan di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019) siang. Foto: Istimewa

KH. Ma’ruf Amin Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01, menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah NU yang memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir bagi non-muslim di Indonesia.

Menurut penilaian Ma’ruf, rekomendasi PBNU tersebut dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.

“Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendeskriminasikan gitu. Mungkin punya kesepatakan untuk tidak menggunakan istilah itu,” ujar Kiai Ma’ruf saat ditemui di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019) siang.

Kiai Ma’ruf sendiri mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu Kiai Ma’ruf tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Saya sendiri tidak ikut sidangnya kan, karena terus mutar,” ucap Mustasyar PBNU ini.

Namun, menurut dia, jika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

“Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari,” jelas Ketua Umum MUI ini.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.

Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir,” katanya dalam kegiatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat (1/3/2019). (rid/wil)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs