Sengkuni menunjukkan kedukaan dan kengerian hidupnya saat harus memakan saudara-saudarannya sendiri agar menjadi sakti dan tetap bisa bertahan hidup untuk membalaskan dendam keluarganya.
“Ternyata justru aku yang tidak sanggup membunuh dan memakan kalian saudaraku. Hidup apa ini? Jika kalian siap dan rela aku mangsa, justru aku yang tidak sanggup dan belum siap. Coba bayangkan, manusia apa yang rela memakan saudaranya sendiri?” ujar Sengkuni merenungi kedukaannya.
Karena duka dan derita yang tiada tara saat didalam penjara, dengan satu diantaranya hanya diberi makan sebutir nasi setiap hari, Sengkuni terpaksa harus membunuh dan kemudian memakan saudara-saudaranya sendiri.
Lalu Sengkuni bertanya pada penonton. Percayakah Anda kalau saya Sengkuni? Tahukah Anda bahwa saya adalah Sengkuni? Kitab apa yang pernah Anda baca untuk tahu siapa sebenarnya Sengkuni?
Totalitas Joko Kamto sebagai Sengkuni patut diacungi jempol. Tetap konsis dengan stamina prima meski usia 62 tahun. Foto: Totok suarasurabaya.net
Pada adegan lain, tampil sosok Bagus yang akan mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg) dengan dikawal ketat oleh Tiksus yang selalu memberikan masukan-masukan serta kritik terhadap apa yang dilakukan Bagus sebelum menjadi caleg.
Pak Kandek orang tua Bagus, justru berharap sang anak tidak jadi pejabat, atau caleg. “Aku takut anakku akan ikut-ikutan menjadi Sengkuni. Karena dinegeri ini yang ada bukan pemimpin, tapi pejabat yang justru bersikap seperti Sengkuni. Aku tidak rela!!” ujar Pak Kandek.
Dialog anak-anak muda zaman now yang diwakili 5 anak muda bergaya metropolis tentang sejarah, politik juga mengungkit Sengkuni sebagai sosok perusuh dan pembuat kekacauan yang ada di setiap kehidupan masyarakat, termasuk orang-orang di dunia politik.
“Mereka punya banyak topeng. Tampil selalu sopan, senyum menawan, sekaligus mematikan lawan-lawan politik dan orang-orang yang menjadi pengikutnya. Topeng-topeng itu tak ubahnya Sengkuni yang memang ada pada diri mereka,” ujar satu diantara mereka.
Lakon Sengkuni 2019 disutradarai Jujuk Prabowo dan naskahnya ditulis Emha Ainun Najib. Dipentaskan sebelumnya di Yogjakarta dan mendapat sambutan hangat dari penontonnya sebelum akhirnya tampil di Surabaya.
Menurut Cak Nun sapaan Emha Ainun Najib, naskah Sengkuni 2019 memang tidak mencoba untuk menampilkan sosok Sengkuni yang di dunia pewayangan dikenal sebagai perusuh dan penyebab kekacauan antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya masih satu saudara.
“Mungkin justru Sengkuni itu ada di dalam diri kita masing-masing? Lakon ini tidak mencoba menunjukkan Sengkuni, juga tidak mencarikan solusi, meskipun jika dicermati dan ditelah lebih, maka akan ada banyak solusi yang bisa digunakan di berbagai kehidupan,” terang Cak Nun.
Kalau para pemain rela menampilkan sebuah pertunjukkan luar biasa dengan latihan selama 3 bulan, lanjut Cak Nun, bukan berarti kemudian pertunjukan Sengkuni 2019 adalah solusi bagi persoalan bangsa yang saat ini sedang galau.
“Ini pementasan teater yang pemainnya bukan pemain profesional lho. Mereka butuh waktu hanya 3 bulan untuk latihan. Lalu sampean sampean berharap bahwa pertunjukan ini adalah solusi atas persoalan bangsa saat ini? Sampean kan punya anggota dewan? Kenapa tidak minta solusi pada mereka?” canda Cak Nun.
Pementasan Sengkuni 2019 yang dimainkan Tetaer Perdikan Yogjakarta tampil di Balai Budaya kompleks Balai Pemuda Surabaya selama 2 hari, Kamis (7/3/2019) dan Jumat (8/3/2019).(tok/ipg)