Mufti Anam Anggota Tim Pengawas Penanggulangan Bencana Covid-19 DPR RI mengkritik pebisnis yang masih mengambil untung memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.
Terutama, kata Mufti, yang dilakukan sejumlah pelaku bisnis di bidang kesehatan, memanfaatkan kebutuhan masyarakat akan peralatan kesehatan di tengah wabah virus corona SARS CoV-2.
“Salah satu yang menonjol, misalnya, soal rapid test (tes cepat), terlepas dari kontroversi akurasinya. Beli di luar negeri harganya Rp30 ribu-Rp50 ribu per satuan, tapi di Indonesia dijual mahal,” ujarnya, Senin (11/5/2020).
Mufti menyebutkan, di pasaran, ada sejumlah pelaku usaha yang menjual alat rapid test dengan harga antara Rp200 ribu-Rp500 ribu. Bahkan, ada yang Rp800 ribu sampai Rp1 juta.
“Ambil untung tidak apa-apa, wong namanya usaha. Tapi untung yang gila-gilaan saat pandemi yang menyusahkan banyak orang, itu tidak beretika,” tegas Mufti dalam keterangan pers tertulis.
Mufti bilang, banyak Dinas Kesehatan dan rumah sakit daerah yang dibiayai APBD membeli rapid test dalam jumlah besar dengan harga cukup mahal karena marjin harganya tidak masuk akal.
“Sungguh disayangkan. Padahal kalau harga bisa ditekan, dana APBD itu bisa dialihkan untuk alat lainnya. Ventilator misalnya. Atau bisa untuk menambah jaring pengaman sosial,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Mufti juga mengingatkan BUMN farmasi, seperti Kimia Farma, yang sudah mengimpor rapid test dalam jumlah besar dan memasarkan ke berbagai rumah sakit daerah dan dinas kesehatan.
“Jangan sampai BUMN ikut dalam permainan taking profit gila-gilaan yang menyusahkan rakyat seperti itu,” kata Mufti yang merupakan anggota Komisi VI DPR RI membidangi BUMN.
Jutaan rapid test telah masuk ke Indonesia, baik diimpor swasta maupun BUMN. Rapid test itu terdistribusi ke berbagai rumah sakit, dinas kesehatan, sampai ke klinik sebagai upaya tracing oleh pemerintah.
Tetapi tidak hanya itu, Mufti bilang, cukup banyak pula warga yang berinisiatif melakukan pemeriksaan tes cepat Covid-19 memanfaatkan tawaran banyak pelaku usaha kesehatan swasta.
“Masyarakat yang takut, cemas, terpaksa mengakses rapid test secara mandiri yang tersedia di berbagai fasilitas swasta dengan harga yang relatif mahal.”
“Akurasi rapid test juga perlu jadi perhatian bersama. Banyak kasus di mana rapid test mempunyai tingkat akurasi yang sangat lemah. Seperti kasus di salah satu desa di Bali yang bikin heboh itu,” ujarnya.(den)