Senin, 25 November 2024

Penyebab Rendahnya IPM di Jawa Timur

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim dan Emil Elestianto Dardak Wagub Jatim saat memimpin Ratas di Grahadi, Jumat (5/4/2019). Foto: Humas Pemprov Jatim

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa Timur berada di urutan ke-15 di Indonesia. Dibandingkan beberapa provinsi di Pulau Jawa, IPM Jawa Timur menjadi yang terendah. Sebab itulah, Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim menggelar rapat terbatas (ratas) untuk memetakan penyebab rendahnya IPM di Jatim.

Ratas dengan sejumlah Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, juga dengan Badan Pusat Statistik ini berlangsung di Gedung Negara Grahadi sejak Jumat (5/4/2019) pagi. Hasilnya, menurut Khofifah, banyak data-data penting yang bisa digunakan sebagai bahan intervensi peningkatan IPM Jawa Timur oleh Pemprov Jatim.

“Kami ingin mengurai, mencari titik pusatnya di mana? Oh ternyata ketemu, rata-rata lama sekolah. Hari ini BPS datang. Ternyata, rata-rata lama sekolah (masyarakat Jawa Timur, red) 7,39 tahun,” ujar Khofifah kepada wartawan di sela-sela istirahat Ratas di Grahadi.

Khofifah menjelaskan, data BPS yang menyebutkan rata-rata lama sekolah hanya 7,39 tahun itu berarti sebagian besar masyarakat Jawa Timur menempuh pendidikan hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 2 (Kelas VIII) semester pertama. Padahal, program pendidikan yang dijalankan pemerintah minimal sampai sembilan tahun, atau sampai lulus SMA/SMK.

“Siapa Mereka? ternyata sebagian besar mereka adalah (masyarakat) di atas umur 25 tahun. Apa yang bisa kita lakukan? Kejar paket C. Kejar paket C ini, kan, tugas kabupaten/kota tetapi kami ingin membangun satu kesepahaman pentingnya kita mengintervensi mereka yang terutama berumur 25 tahun ke atas sampai 44 (usia produktif),” ujarnya.

Dari seluruh masyarakat Jawa Timur yang berpendidikan rata-rata 7,39 tahun itu, kata Khofifah, hampir 64 persen di antaranya sudah berada di dunia kerja. Atau bisa dikatakan, sebagian besar karyawan yang ada di perusahaan-perusahaan di Jawa Timur ini rata-rata masih berpendidikan di bawah SMA.

“Maka kami akan koordinasikan dengan para pemilik perusahaan (melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo) agar bisa memberikan layanan kejar paket C bagi tenaga kerjanya yang belum lulus SMA,” ujarnya.

Tidak hanya berdasarkan rata-rata lama sekolah, rendahnya IPM di Jawa Timur juga dilihat dari usia harapan hidup. Usia harapan hidup masyarakat Jawa Timur lebih rendah dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyebabnya, karena ada masyarakat di beberapa daerah yang gizinya kurang baik.

“Apakah mereka miskin, ternyata nggak juga? Tim BPS turun, bahkan katanya sampai tidur di rumah penduduk, faktornya karena mungkin tidak teredukasi tentang gizi. Mana makanan yang sehat, mana makanan bergizi itu rupanya harus disosialisasikan kembali,” ujarnya.

Sosialisasi itu, kata Khofifah, merupakan tugas semua pemangku kebijakan dan masyarakat. Pemprov Jawa Timur sendiri berharap adanya revitalisasi Posyandu dan PKK di masyarakat. Pemprov, kata Khofifah, juga akan membangun kerja sama dengan perguruan tinggi terdekat.

Dia mencontohkan, misalnya yang paling tinggi tingkat kurang gizinya di kawasan Madura, maka Pemprov Jatim akan bekerja sama dengan Universitas Trunojoyo untuk melakukan sosialisasi mengenai gizi sembari memetakan lebih detail hingga ke kecamatan-kecamatan yang kurang gizi.

Penyebab lain rendahnya IPM di Jawa Timur, kata Khofifah, juga berkaitan dengan jamban. Sampai saat ini, kata Khofifah menukil data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, baru 64 persen rumah tangga di Jawa Timur yang rumahnya sudah memiliki jamban. Pemprov, kata dia, sudah mengidentifikasi daerah mana saja yang masih kurang jamban.

“Itu ada di daerah Tapal Kuda. Nah, ini nanti bagaimana kemudian bisa diintervensi secara kroyokan. Yuk kita lakukan jambanisasi. Termasuk di daerah miskin (slum area), nanti harus ada jamban komunal. Kira-kira ada 5 MCK dan satu septic tank. Sampai sedetail itu, supaya intervensi kita itu bisa lebih signifikan,” ujarnya.

Pemprov Jatim, kata dia, akan melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program-program peningkatan IPM ini secara fokus menyasar hingga tingkat kecamatan untuk kemudian dijadikan role model bagi kecamatan lainnya. Kecamatan itu akan menjadi referensi bagi daerah lainnya.

“Jadi kalau kita mau bilang, hari gini ada rumah tangga belum punya jamban, mari kita bangun gotong royong,” ujarnya.

Apalagi, hasil temuan Dinas Kesehatan Provinsi Jatim, tidak semua rumah tangga tidak berjamban itu adalah rumah tangga miskin.

Menurutnya, ada temuan Dinkes bahwa warga yang buang hajat di tempat terbuka tapi mereka memiliki telepon seluler. Ini bisa diartikan bahwa tidak semua rumah tangga yang tidak memiliki jamban adalah keluarga miskin. Ada kultur yang memaksa mereka berperilaku demikian.

“Jadi tidak melulu karena miskin, tapi mungkin ada kendala lain. Mungkin dia kontrak di situ kemudian tidak ada jamban komunal, begitu. Artinya, ini adalah kultur. Nah, apa yang bisa kita lakukan? Saya rasa komunitas relawan dan partisipasi masyarakat Jawa Timur luar biasa. Ayo bersama-sama kita mengedukasi masyarakat, supaya yang punya kemampuan, ya, bikin jamban. Nanti jamban komunal kami (Pemprov Jatim) akan mengintervensi,” ujarnya.

Pemprov Jatim, kata Khofifah, akan berkoordinasi dengan Pemkab dan Pemkot di Jawa Timur untuk mengukur, apa bisa pada lima tahun ke depan, 99 persen warga Jawa Timur sudah berjamban. Menurutnya, ini juga menjadi bagian dari menyicil detail perencanaan untuk dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).(den/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
30o
Kurs