Sabtu, 23 November 2024

Fenomena Peserta UNBK Curhat di Akun Kemendikbud, Ini Pendapat Sosiolog

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Suasana di SMAN 6 Surabaya saat siswanya sedang melaksanakan Ujian Nasional, Senin (1/4/2019). Foto: Anggi suarasurabaya.net

Para pelajar peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2018/2019 membanjiri kolom komentar di instagram Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya untuk berkeluh kesah karena susahnya soal yang diujikan.

Komentar tidak hanya berasal dari siswa tingkat SMA, namun juga SMP dan sederajat. Sebagian besar dari mereka mengeluh karena soal yang diujikan sulit. Namun tidak seperti protes pada umumnya, para siswa ini melontarkan ‘curhat’-nya dengan kalimat sindiran yang lucu.

“Pak, Soal UNBK SMP kasih yang mudah aja yaa, kalo UNBK nya susah, nanti nilainya jelek terus nanti orang tua bangga banggain anak tetangga,” tulis @sstywn0411

“Alhamdulillah dari 40 soal , yg bisa dikerjakan cuma 10. Sisanya dikerjakan dengan sholawatan 🙂 tulis @m.amiraziz

“Pak tadi saya usbn berasa kayak rambo lagi lawan vietnam pak asal tembak selesai duluan,” tulis @masihdika

“Selama 2 jam tadi saya kira saya lagi di neraka,” tulis @creekygoliath

“Jadi trauma ikut lomba kelereng 17an…,” tulis @an.ast.asia_

Menurut Bagong Suyanto Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, fenomena ini terjadi karena ada pergeseran perpektif siswa sekarang dalam mengikuti proses pembelajaran. Perubahan relasi inilah yang membuat para siswa menjadi lebih ekspresif dibanding siswa jaman dulu.

“Kalau dulu kan tidak berani melakukan (protes, red). Ini cara mereka, karena relasi mereka dengan guru berubah, perspektif mereka kepada pelajaran berubah. Jadi mereka lebih ekspresif karena merasa relasinya lebih intens, bahkan di ruang publik pun berani,” kata Bagong kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (6/4/2019).

Ungkapan ekspresif siswa yang langsung ditujukan ke akun Kemendikbud ini, menurut pengamatan Bagong, adalah konsekuensi dari kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan kesiapan psikologis dalam berperilaku di dunia maya. Sehingga, ketidaksiapan ini membuat anak muda merasa dapat mengungkapkan aspirasi hingga kekesalan mereka di ruang publik secara bebas.

Padahal, lanjut Bagong, di ruang publik pun tetap ada etika dan norma yang harus dipatuhi meski hal itu diabaikan oleh sebagian besar anak muda.

“Ini karena ada kesenjangan antara kemajuan teknologi dengan kesiapan psikologis mereka. Mereka culture shock, mereka euforia bisa melontarkan apa yang dia rasakan, tapi mereka tidak tahu risiko,” tambahnya.

Namun menurut pakar sosiologi ini, sejauh ini ekspresi para siswa masih dalam batasan yang wajar karena mereka mengetahui batasan. Dengan mengemas protes dan ungkapan dalam bentuk candaan, artinya para siswa tahu batasan mana agar mereka tidak menggunakan kalimat provokatif dan ujaran kebencian.

“Yang dilakukan ini sudah positif, mereka menyampaikan langsung ke situs-situs Kemendikbud, sesuai koridornya. Mereka cerdas, jadi tidak terperosok pada kalimat provokatif dan memfitnah,” tambahnya.

Untuk itu, orang tua seharusnya tidak merespon fenomena ini secara berlebihan selama anak-anak tidak sampai melakukan hal-hal yang membahayakan. Ia juga mengimbau kepada Kemendikbud agar dapat merespon protes siswa ini secara bijaksana.(tin/ipg)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs