Jumat, 22 November 2024

Menkes: Penanganan Penyakit TBC Butuh Komitmen Semua Pihak

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Nila Moeloek Menteri Kesehatan RI.

Nila Moeloek Menteri Kesehatan RI mengatakan, penanganan penyakit tuberkulosis (TBC) tidak bisa ditangani secara parsial. Menurutnya, perlu kerja sama antarpihak agar bisa menuntaskan masalah TBC. Termasuk menjangkau seluruh masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit ini.

Berdasarkan data Kemenkes RI pada 2017, Indonesia menduduki peringkat ke 3 di dunia dengan beban TBC terbanyak setelah India dan China. Adapun estimasi jumlah TBC di Indonesia mencapai 842.000 kasus dan yang baru ditemukan sekitar 514.773 kasus.

Pemerintah Indonesia menargetkan untuk eliminasi TBC pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut diperlukan komitmen dari semua pihak. Salah satunya peran penting dari para peneliti dalam melakukan riset untuk mengakselerasi penanganan penyakit TBC.

“Dari 842.000 kasus, ada 39 persen belum dilaporkan dan dilayani fasilitas kesehatan. Lalu, sekitar 3.042 kasus di antaranya merupakan TB resisten obat. Adapun tingkat keberhasilan pengobatan sekitar 86 persen. Ketuntasan TBC menjadi tugas peneliti, apakah imunisasi yang diterima saat kecil sudah efektif atau bagaimana,” kata Nila di Surabaya, Sabtu (6/4/2019).

Tidak hanya peran dari para peneliti, kata dia, masyarakat juga bisa menjadi jembatan untuk mengakhiri TBC. Seperti diketahui, penyakit TBC menular melalui udara. Satu pasien TBC bisa menularkan penyakitnya kepada 10-15 orang lain.

Kalau sudah tertular, pasien harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu cukup lama. Untuk pasien TBC biasa, pengobatan dilakukan dengan obat selama enam hingga delapan bulan, dan disuntik tiap hari selama beberapa bulan awal. Sementara pasien TBC resisten obat, pengobatan tersebut bisa mencapai 20 bulan.

Untuk mencegah penularannya, baik penderita maupun orang disekitarnya bisa menggunakan masker pada berbagai kesempatan, khususnya saat flu, batuk, dan lainnya. Namun, kesadaran masyarakat akan hal itu dinilai masih kurang.

Kurangnya kesadaran ini juga diklaim menjadi penyebab meningkatnya jumlah penderita TB di Jatim. Kasus TBC di Jatim yang terdeteksi dibandingkan jumlah kasus nasional meningkat dari 40 persen pada 2016, menjadi 46 persen pada 2017, dan 49 persen pada 2018.

“Kebiasaan menggunakan masker ini yang perlu ditekankan lagi ke masyarakat. Bersin saja jarak 3 meter saja, seseorang bisa tertular. Apalagi kalau daya tahan tubuh seseorang itu tidak dalam kondisi fit. Jadi kalau mengalami batuk sampai berminggu-minggu dan mengeluarkan darah, lebih baik segera diperiksakan. Karena obatnya gratis,” kata dia.

Sementara itu, Kohar Hari Santoso Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim mengatakan, sejauh ini pihaknya gencar melakukan gerakan 1-20 untuk mendeteksi penderita TBC. Gerakan yang dimaksud adalah setiap temuan satu kasus maka 20 orang disekitar penderita positif TBC tersebut akan diperiksa.

“Kalau ada orang batuknya lama, terus kelenjarnya banyak dan bercampur darah juga maka bisa dicurigai itu TBC. Apalagi ada riwayat keluarga yang TBC. Nah itu nanti kita periksa,” kata dia.

Sudarsono Dokter spesialis dan konsultan paru Universitas Airlangga menambahkan, saat ini para peneliti juga sedang mengembangkan pengobatan TB resisten obat. Ditambah, Unair juga memiliki Institute of Tropical Disease (ITD) yang menjalin kerja sama dengan peneliti dari Jepang.

“Kalau sebelumnya pasien harus minum obat dan disuntik dalam jangka waktu hingga 20 bulan, kini bisa dipersingkat menjadi 9 hingga 11 bulan. Lalu, pengobatan suntik dikembangkan untuk bisa dilakukan dengan minum obat. Beberapa kasus berhenti berobat terjadi karena tidak tahan disuntik setiap hari. Nah, kami sedang melakukan penelitian agar pengobatan suntik bisa diganti oral,” kata dia. (ang)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
26o
Kurs