Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) jutaan bayi di Indonesia yang terlahir dengan kelainan jantung jumlahnya terus bertambah setiap tahun sehingga menuntut pemerintah daerah menyediakan fasilitas khusus untuk anak.
dr Noormanto, SpA(K), Ketua Unit Kerja Koordinasi Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pada pertemuan tahunan Pediatric Cardiology Update, Senin (8/4/2019), di Palembang, mengatakan penambahan fasilitas pelayanan jantung anak ini bertujuan agar penderita dapat mengakses dokter spesialis.
“Dari Kementerian Kesehatan sudah ada rencana pemerataan dokter spesialis jantung anak dengan pola-pola pengabdian di daerah, tetapi pengabdian baru bisa dilakukan jika di daerah itu sudah ada fasilitas pendukung,” kata dia seperti dilansir Antara.
Ia mengatakan berdasarkan data terakhir, diketahui bayi pengidap kelainan jantung berjumlah 1,0 persen dari 4,8 juta angka kelahiran bayi setiap tahunnya. Rasionya yakni terdapat 8 bayi dari 1.000 bayi yang terlahir itu terkena kelainan jantung.
Dokter spesialis anak dan konsultan jantung anak di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta ini mengatakan, sebenarnya akses penderita sudah lebih mudah jika dibandingkan sebelumnya sejak adanya pembiayaan BPJS.
Sistem pembiayaan BPJS ini membuat masyarakat lebih berani membawa anaknya ke rumah sakit sehingga deteksi dini penyakit jantung menjadi lebih baik. BPJS juga diketahui sudah menanggung biaya tindakan operasi serta intervensi.
Namun, katanya, hal itu ternyata tidak diimbangi dengan jumlah dokter spesialis jantung anak dan fasilitas pelayanan di daerah.
Menghadapi kurangnya fasilitas tersebut, IDAI merespon dengan menggelar pelatihan dan pembaharuan ilmu seputar tata laksana maupun prosedur penanganan penyakit jantung pada bayi serta anak.
Dengan demikian, kendala kekurangan fasilitas pelayanan penyakit jantung yang banyak terjadi di daerah-daerah setidaknya dapat sedikit tertutupi oleh kompetensi para dokter spesialis jantung anak.
“IDAI coba mempertajam pengetahuan para dokter spesialis dan konsultan jantung anak dalam mendiagnosis penyakit,” kata dia.
Dengan konsultasi, wawancara serta pemeriksaan menggunakan alat seadanya diharapkan dapat menghasilkan diagnosis yang akurat.
Diagnosis tanpa alat tersebut membuat pasien tidak perlu pergi ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap yang menghabiskan banyak biaya, kecuali jika hasil diagnosis mengharuskan pasien ke rumah sakit rujukan tersebut.
Ia menambahkan, jika di suatu daerah sudah memiliki dokter spesialis jantung anak, namun fasilitasnya kurang, maka IDAI bisa mengusulkan pelatihan intensif selama 6 bulan hingga 1 tahun kepada dokter tersebut. Namun dengan cacatan, jika pemda setempat bersedia mendatangkan alat kesehatan tertentu.
Sementara ini, IDAI sebagai organisasi profesi hanya bisa membantu peningkatan kompetensi para dokter jantung anak dalam melaksanakan tugasnya, mengenai sarana prasarana di sentra pelayanan kesehatan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah daerah.
“Idealnya satu dokter menangani 2.000 anak, tetapi saat ini dengan jumlah dokter spesialis jantung anak yang kurang dari 100 di seluruh Indonesia,” demikian Noormanto.(ant/iss)