Jumat, 22 November 2024

Hasil Kajian INDEF Soal Penanganan Wabah COVID-19 dan Dampak Ekonominya

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi. Grafis: suarasurabaya.net

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar kajian melalui teleconference membahas penanganan wabah COVID-19 dan dampak ekonominya. Sebagai pembicara masing-masing Eko Listiyanto Wadirut Indef, M Rizal Taufikurahman Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF, Andry Satrio peneliti INDEF dan Abra El Talattov peneliti INDEF.

Dalam teleconference ini didampingi juga oleh ekonom senior Indef yakni Dradjad Wibowo dan Didik J Rachbini. Berikut ini hasil rangkuman kajian itu:

Pandemi virus COVID-19 atau yang umum disebut virus Korona di masyarakat kian hari semakin menjangkiti perekonomian Indonesia. Dampak ekonomi akibat virus ini semula hanya menggerus sisi eksternal perekonomianIndonesia melalui kenaikan sejumlah komoditas impor dari China.

Namun, seiring penyebaran virus yang sangat cepat. [Sampai dengan 23 Maret 2020, sebanyak 579 orang di Indonesia positif Korona, sembuh 30 orang, dan 49 meninggal dunia (Pusat Informasi COVID-19, 2020)], stabilitas perekonomian pun terkena dampak.

Nilai tukar rupiah terus melemah tajam, sementara pasar bursa pun meradang seiring laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi dalam. Pertumbuhan ekonomi pun diperkirakan akanmelambat drastis, terkikis oleh penjalaran dampak virus ke berbagai sektor di perekonomian.

Pandemi memang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, namun tanpa upaya sigap dari pemangku kebijakan untuk selamatkan nyawa penduduk Indonesia, maka optimisme perekonomian tidak akan pernah datang. Optimisme dan sentimen positif ekonomi baru akan terjadi jika pandemi COVID-19 dapat diatasi, setidaknya menunjukkan tanda-tanda terkendali dan akhirnya dapat diselesaikan.

Jadi, kemampuan Pemerintah dan para pemangku kepentingan ekonomi untuk secara bersama-sama mengalokasikan sumber daya secara optimal menangani masalah kesehatan ini akan sangat menentukan jalannya roda perekonomian ke depan. Tanpa ini sepertinya puluhan jurus stimulus perekonomian pun tidak akan mempan menggeliatkan perekonomian.

INDEF melakukan analisis dampak ekonomi atas pandemi COVID-19 ini, serta mengusulkan sejumlah rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

Urgensi Karantina Wilayah

1. Mencegah penyebaran Covid-19 dalam kelurahan/desa yang banyak kasus positif/ODP/PDP dan ke kelurahan sekelilingnya setidaknya untuk 2 (dua) minggu ke depan. Penentuan kelurahan yang dikarantina berdasar batas jumlah positif per penduduk (densitas) berdasar konsensus ahli epidimologi.

Warga dalam kelurahan yang di karantina dapat keluar rumah setiap 2-3 hari hanya untuk membeli makanan, obat-obatan dan keperluan dasar lainnya Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan unconditional cash transfer (bantuan dana tanpa syarat) pada masyarakat yang pekerja harian/informal/rentan (khususnya yang belum mendapat bantuan sosial) dengan menggunakan teknologi (mobile banking, digital money, dll) yang memudahkan pencairan.

2. Memastikan sosialisasi pada tingkatan paling bawah berdasarkan data dan informasi akurat. Pihak kelurahan/desa, RT/RW, tokoh masyarakat harus dilibatkan secara masif oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Pelibatan organisasi pemuda, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan maupun organisasi lainnya menjadi sangat penting.

3. Pentingnya meningkatkan pengawasan social distancing mulai dari diri sendiri, keluarga hingga lingkungan sekitar. Pelibatan aparat pemerintah, baik sipil, tentara dan kepolisian sangat penting mengingat himbauan saja tidak cukup. Untuk itu, penegakan hukum penting dilakukan yang dimulai dengan peningkatan kesadaran masyarakat.

Realokasi Anggaran Berfokus Pada Penanganan Pandemi COVID-19

1. Pemerintah berencana akan melakukan realokasi anggaran K/L sebesar Rp 10 Triliun. Jumlah realokasi anggaran K/L tersebut masih terlampau kecil dibandingkan dengan kebutuhan penanganan COVID-19 secara nasional. Kebutuhan realokasi anggaran tersebut harus diprioritaskan pada upaya pengadaan untuk alat Rapid Test, pelaksanaan Test Massal Corona, Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis, pengadaan tempat tidur dan kamar rumah sakit, tambahan petugas medis, obat-obatan, masker dan lain sebagainya.

2. Perlunya pengadaan infrastruktur kesehatan yang lebih besar, tidak hanya rumah sakit di Pulau Galang dan Wisma Atlet Kemayoran saja, namun rumah sakit-rumah sakit daerah yang kapasitasnya terbatas menangani virus Covid-19. Ini penting mengingat rumah sakit daerah tidak dapat menampung pasien maupun suspect COVID-19 yang cenderung meningkat akhir-akhir ini.

Guncangan (Shock) yang Terjadi Akibat COVID-19 Tidak Hanya Dari Sisi Konsumsi (Demand) Tetapi Juga Produksi (Supply)

1. Praktik social distancing membuat shock pada sisi produksi (supply) yang terlihat dari penutupan pabrik dan kegiatan produksi. PHK tidak terelakan dan akan menurunkan daya beli masyarakat, akibatnya konsumsi barang menurun.

2. Jika shock berasal dari sisi konsumsi (demand) maka praktik social distancing membuat keleluasaan untuk mengonsumsi barang akan menurun yang berimplikasi pada menurunnya permintaan barang tersebut. Akibatnya, perusahaan tidak mendapatkan pendapatan yang maksimal dan cenderung menurun. Akibatnya, perusahaan menurunkan biaya produksinya dan gelombang PHK terjadi.

Sektor Jasa yang Akan Paling Terdampak Akibat Pandemi Ini, Terutama Jasa pariwisata dan Maskapai

1. Sektor pariwisata memiliki rantai produksi yang panjang dan melibatkan manusia. Satu destinasi wisata mampu mengerakkan sektor lain seperti restoran, hotel, transportasi domestik, jasa pemandu wisata, hingga maskapai penerbangan. Jika destinasi wisata ditutup, maka sektor-sektor ini yang akan terkena dampak lanjutan.

2. Pemerintah perlu waspada untuk melihat daerah yang memiliki kontribusi pendapatan daerah yang berasal dari sektor jasa pariwisata seperti Bali dan destinasi wisata lainnya karena akan menjadi penyumbang terbesar angka kemiskinan dan pengangguran nasional.

Ekonomi China Kembali Bangkit Setelah Gelombang Epidemi Berlalu. Namun Hal Ini Masih Belum Menjadi Angin Segar Bagi Industri Domestik

1. Perdagangan Indonesia (ekspor dan impor non-migas) memang bergantung pada China sehingga perlambatan ekonomi di China akan berdampak pada Indonesia. Namun demikian, akibat COVID-19 di Indonesia baru terdeteksi setelah gelombang pandemi ini berakhir di China, maka Indonesia tetap akan terdampak meski perekonomian China sudah stabil.

2. Setidaknya industri domestik yang akan masih bertahan adalah industri padat modal yang memang tidak bergantung pada tenaga kerja.

Selamatkan Manusia dan Korbankan Ekonomi Dalam Jangka Pendek Agar Dampak Tidak Terasa Pada Jangka Panjang

1. Upaya utama yang perlu dilakukan adalah menanggulangi pandemi. Maka demikian fasilitas dan alat kesehatan perlu menjadi prioritas utama dari stimulus industri yang diberikan. Industri penyedia di dalam negeri perlu didukung melalui instrumen stimulus bagi industri ini.

Satu-satunya Stimulus yang Utama Diberikan Bagi Industri adalah Menjaga Agar Gelombang PHK Tidak Besar

1. Setidaknya ada empat biaya besar bagi dunia bisnis dan industri yang perlu diperhatikan agar industri tidak cepat kolaps: (1) tenaga kerja, (2) utilitas dan sewa, (3) pajak dan retribusi daerah, dan (4) utang dan bunga pinjaman.

2. Pemerintah perlu mengeluarkan stimulus bagi industri dengan tujuan agar likuiditas pekerja tetap terjaga, diantaranya:
a. Relaksasi PPh21, PPh22, PPh25 dan pembebasan PPN (dalam kurun 6 bulan). Instrumen diberikan terbatas, bergantung pada sektor yang paling terdampak dan sasaran pada sektor padat karya khususnya umkm manufaktur dan umkm pariwisata;

b. Pembebasan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan (dalam kurun 6 bulan);

c. Insentif bagi industri yang merubah lini produksinya menjadi pemenuhan kebutuhan medis. Insentif ini bisa diberikan terbatas seperti kepada industri perusahaan farmasi, elektronik dan tekstil;

d. Kelonggaran utang dan bunga kredit. Kelonggaran kredit konsumsi khususnya bagi driver transportasi online akan sangat membantu mengatasi penurunan permintaan di sektor ini.

Memastikan Kecukupan dan Keterjangkauan Pasokan Pangan

1. Merebaknya pandemi COVID-19 turut berimplikasi terhadap lonjakan permintaan akan bahan kebutuhan pokok. Anjuran pemerintah agar masyarakat melakukan kegiatan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah mendorong masyarakat untuk melakukan pembelian sembako secara masif guna memenuhi persediaan hingga beberapa waktu mendatang.

Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per 23 Maret 2020, beberapa komoditas bahan pokok mengalami kenaikan harga (rata-rata harga nasional) yang signifikan dalam sebulan terakhir dan kenaikan sejak awal tahun (year to date/ytd) antara lain gula pasir lokal 18,71% (ytd 31,2%), gula pasir kualitas premium 10,68% (ytd 15,54%), bawang putih naik 36% (ytd), bawang merah 5,56% (ytd 4,57%), cabai rawit merah 18,11% (ytd 2,74%). Sementara itu, harga kebutuhan pokok lainnya seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng relatif stabil.

2. Guna meredam lonjakan harga pangan, langkah pertama yang harus ditempuh pemerintah adalah memetakan secara akurat stok pangan nasional secara real time. Pemetaan stok dan harga pangan harus lebih intensif lagi sehingga dapat mendeteksi dini wilayah di mana saja yang beresiko terjadi rawan/krisis pangan.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih transparan dalam menginformasikan kepada publik terkait stok pangan dan strategi apa saja yang akan dilakukan guna menjaga stok pangan tetap terjaga dalam batas aman. Pemerintah juga harus mencermati pelemahan nilai tukar rupiah yang akan berimbas terhadap kenaikan harga pangan yang bersumber dari impor.

3. Perhatian khusus berupa penyiapan stok pangan terhadap wilayah yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 yang berpotensi dilakukan penutupan wilayah tersebut (lockdown terbatas). Disamping itu, pemerintah juga harus menjamin kelancaran sistem logistik pangan dari dan ke wilayah tersebut serta kesiapan distribusi ke level konsumen. Ketersediaan pasokan pangan di tengah wabah Covid-19 semakin urgen karena sebulan lagi akan menghadapi bulan Ramadan.

Fenomena panic buying yang sempat terjadi di beberapa daerah red zonepersebaran Covid-19 berdampak pada keterbatasan akses kelompok rumah tangga kelas menengah ke bawah yang tidak mampu “menyetok” bahan makanan. Untuk meredam shock kenaikan permintaan dan potensi penimbunan kebutuhan pokok, pemerintah dapat mengoptimalkan pengawasan terhadap aturan pembatasan pembelian kebutuhan pokok baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern.

4. Selain menjamin stok bahan pangan, cara distribusi bantuan sosial dalam hal ini adalah sembako, memerlukan teknis baru untuk mencegah adanya perkumpulan warga yang menumpuk di suatu lokasi. Pendistribusian sembako dapat dilakukan dengan door to door service oleh pejabat yang berwenang di setiap daerah, atau dilakukan di kantor desa/kecamatan/kelurahan dengan pengaturan jadwal yang menyesuaikan kebutuhan lapangan.

Selain itu, agar penyaluran bantuan sembako berjalan efektif dan efisien dapat juga bekerja sama dengan perusahaan e-commerce yang saat ini sudah memiliki sistem online serta distribusi penyaluran yang cukup baik. Ini sekaligus juga bisa mengurangi intensitas masyarakat untuk keluar rumah dan antri sembako.

Mempercepat dan Memperluas Bantuan Sosial

1. Lumpuhnya sebagian besar aktivitas ekonomi terutama di wilayah terpapar COVID-19 meningkatkan resiko PHK di berbagai sektor (pariwisata, hotel, restoran, travel agent, tempat hiburan, industri manufaktur, dan lainnya). Selain itu, pekerja informal yang mencapai 70,5 juta orang (55,72% dari total tenaga kerja Indonesia) juga akan mengalami tekanan ekonomi yang berat.

Pemerintah memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk memastikan keselamatan warga serta jaminan kebutuhan dasar warga terutama kelompok miskin dan rentan miskin, ditambah pekerja informal yang terputus dari sumber penghasilan harian. Selain itu, dengan terus bertambahnya jumlah korban yang terpapar Covid-19 (PDP, OPD, dan Positif) memaksa mereka untuk tidak bisa melangsungkan pekerjaannya.

Sehingga, bagi penderita Covid-19 yang masuk kategori pekerja informal (terutama kepala rumah tangga) maka sudah pasti mereka tidak lagi bisa menafkahi keluarganya. Untuk itu, pemerintah juga harus mengalokasikan jaminan perlindungan sosial kepada para kelompok pekerja yang tengah masuk proses karantina ataupun penyembuhan.

2. Saat ini terdapat 29,3 juta keluarga atau 99,3 juta jiwa yang masuk dalam daftar Data Terpadu TNP2K. Data tersebut merupakan kelompok masyarakat 40% status sosial ekonomi terendah. Melalui basis data terpadu tersebut, pemerintah melakukan pemetaan untuk penyaluran berbagai jenis bantuan sosial seperti Program PKH, KPS, KKS, KIP, Rastra, PBI BPJS Kesehatan.

Dengan melihat potensi bertambahnya kelompok rumah tangga (terutama pekerja informal) masuk dalam kategori rentan miskin, maka pemerintah patut mempertimbangkan perluasan bantuan sosial kepada kelompok tersebut.

3. Pembagian bantuan sosial tersebut harus difokuskan kepada:

a. Kelompok rumah tangga yang selama ini tercatat menerima bantuan sosial (dapat menggunakan data penerima raskin, data penerima Kartu Indonesia Sehat, data penduduk miskin di daerah),

b. Kelompok rumah tangga dengan KK yang sudah pensiun (dapat menggunakan data penerima gaji pensiun tetapi hal ini sangat tidak merata),

c. Kelompok rumah tangga berpendapatan rendah yang memiliki anak usia <15 tahun,

d. Kelompok wanita berpendapatan rendah yang sedang hamil dan perlu dicukupkan nutrisinya,

e. Kelompok lansia yang perlu dicukupkan nutrisinya,

f. Kelompok pekerja harian/informal. (faz/ang/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs