Hak mendapatkan informasi bagi konsumen masih rawan dilanggar. Muhammad Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur mengatakan, dari aduan-aduan konsumen yang masuk ke lembaganya pada 2019 lalu, persoalan seringkali berkutat pada pelanggaran hak mendapatkan informasi.
Sektor Perumahan dan Apartemen yang diadukan paling (108 kasus) banyak dalam tahun 2019 misalnya. Persoalan yang dihadapi konsumen kebanyakan seputar tidak jelasnya informasi saat pra transaksi. Hal ini membuat konsumen seringkali menandatangani perjanjian yang tidak ia mengerti dan berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.
Said mengatakan, hal ini jelas melanggar UU Perlindungan Konsumen.
“Di perumahan, keluhannya di hak informasi yang benar dan jujur seperti di atur di UU Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar dan jujur pada konsumen. Itu tidak pernah diperikan pada pra transaksi,” ujar Said pada suarasurabaya.net.
Selain itu, dalam kasus perumahan dan apartemen, biasanya pihak pengembang sudah memasang dan menyebarkan promosi berupa baliho, brosur, dan pamplet tanpa memberitahukan kepastian rumah atau apartemen yang dipromosikan.
“Seringkali mereka menyebarkan baliho, brosur, pamplet, tanpa memberi tahu kepastian rumah atau apartemen yang dipromosikan. Bagaimana soal IMB, dan kepemilikan tanah. Hal-hal itu yang seringkali tidak didapati masyarakat,” katanya.
Untuk memastikan kebenaran informasi yang disebar ini, pemerintah harusnya secara proaktif menanyakan pada pengembang yang sudah memasang promosi berupa baliho atau pamplet.
“Jangan sampai menyesatkan. Jangan jadi hoax itu,” katanya.
Persoalan serupa juga terjadi di sektor pinjaman online (98 kasus). Masyarakat seringkali terjebak oleh perusahaan fintech ilegal. Perusahaan-perusahaan pinjaman online ilegal ini memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang butuh dana cepat, sehingga mereka mengabaikan hak-hak konsumen.
“Tidak mengetahui. Konsumen ketika ditawari kan butuh dan kebutuhan dilayani cepat, bisa senang. Konsumen memang menerima manfaat. Tapi yang dikeluhkan adalah standar bunganya tidak sesuai dengan peraturan perbankan. Mencekik sekali. Itu seringkali dikeluhkan,” jelasnya.
Ia menyatakan, fintech yang tidak berijin seharusnya bisa segera diselesaikan oleh OJK dan kepolisian. Sebab, jika tidak segera diburu, maka akan meresahkan masyarakat.
“Yang jelas OJK harus proaktif. Perusahaan fintech yang tidak berijin harus ditindak,” tegasnya.
Selain sektor perumahan dan apartemen serta pinjaman online, aduan-aduan di sektor lain juga masuk ke YLPK Jatim selama 2019. Diantaranya secara berturut-turut, perbankan 86 kasus, belanja online 35 kasus, leasing 37 kasus, transportasi 16 kasus, kelistrikan 9 kasus, telekomunikasi 7 kasus, asuransi 5 kasus, dan pekayanan publik 3 kasus. (bas/ang)