Dinas Kesehatan Provinsi Jatim beberapa waktu lalu mengeluarkan daftar 41 rumah sakit yang ada di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur sebagai RS rujukan pasien infeksi virus corona (COVID-19).
Dari jumlah itu, terbanyak ada di Kota Surabaya. Namun, suarasurabaya.net dapat informasi, ada salah satu RS di Surabaya yang masuk daftar yang sudah mengajukan keberatan ke Dinkes Jatim.
Rumah sakit bersangkutan keberatan masuk daftar rumah sakit rujukan COVID-19 karena merasa sudah menyampaikan ketidakmampuannya menangani pasien virus corona kepada Dinkes Jatim.
Herlin Ferliana Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur pun mengklarifikasi. Sebenarnya, yang dimaksud Dinkes Jatim, 41 RS itu hanya menjadi rumah sakit pendukung saja, bukan RS rujukan.
Herlin menjelaskan, 41 rumah sakit yang dia sebutkan adalah rumah sakit kelas B yang dinilai mampu menangani pasien-pasien yang masih berstatus perlu pemantauan, bukan terkategori suspect atau positif corona.
“Maksudnya, kami mendorong 41 RS ini agar siap menangani pasien yang dalam status perlu pemantauan. Kan, tidak harus semua dibawa ke RSUD dr Soetomo, takut penuh ruangannya,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Selasa (3/3/2020).
Penentuan 41 rumah sakit ini bukan tidak berdasar. Menurut Herlin, Dinkes Jatim sudah memetakan dari 374 rumah sakit yang ada di seluruh Jawa Timur, 41 RS itu yang dianggap paling siap.
Semua RS pendukung itu dianggap siap karena memiliki ruang isolasi, punya dokter spesialis paru, dan memiliki alat rontgen portabel. Rumah sakit kelas B ini dia istilahkan, disiapkan untuk ring kedua.
“Ring pertamanya ya tiga rumah sakit yang sering disebut Bu Gubernur di berbagai kesempatan. Baik RSUD dr Soetomo (Surabaya), RSUD dr Saiful Anwar (Malang), dan RSUD dr Soedono (Madiun),” ujarnya.
Penyiapan 41 rumah sakit pendukung di Jatim ini, kata dia, mengingat apa yang dialami Cina ketika virus korona merebak dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei. Ruangan perawatan yang dibutuhkan sangat banyak.
“Makanya kami kemarin memetakan, untuk teman-teman (rumah sakit) yang memenuhi klasifikasi pendukung agar bersiap-siap. Jadi ketika ada kasus yang benar-benar terjadi, rumah sakit rujukan utama tidak sampai tidak menampung,” katanya.
Penanganan di 41 RS terpilih itu, kata Herlin, seperti yang sudah dilakukan di RSUD Sidoarjo dan RS dr Soewandhie Surabaya saat menangani pasien dari negara terjangkit tapi masih berstatus perlu pemantauan.
“Kemarin ada di rumah sakit Soewandhie pasien dari Malaysia. Kami arahkan tetap dirawat di sana, diperiksa lengkap sampai ke laboratorium, terus ternyata tidak menjurus ke korona, akhirnya tetap dirawat di RSUD dr Soewandhie,” ujarnya.
Pemilihan 41 RS ini juga bentuk antisipasi mengatasi tingginya tingkat kewaspadaan warga dan fasilitas kesehatan yang ada. Kalau dulu gejala panas, batuk, sesak dianggap pneumonia biasa, sekarang orang selalu merujuk pada korona.
“Khawatirnya, karena tingkat kewaspadaan tinggi, langsung aja dibawa ke rumah sakit (rujukan utama) untuk bisa ditangani. Padahal tiga rumah sakit ini ruang isolasinya juga terbatas,” ujarnya. (den/bas/ipg)