Ibadah Musikal 100 Hari Djaduk Ferianto meriah dengan kehadiran beragam seniman. Tidak hanya musisi, tapi juga penari, penyinden, dan lain sebagainya, meramaikan acara ini di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Selasa (25/2/2020).
Hendra Lukas Hutagalung penyiar Radio Suara Surabaya yang melaporkan pengalamannya selama mengikuti pertunjukan itu. Acara dimulai Selasa malam pukul 19.30 WIB di hall berkapasitas kurang lebih 1.000 kursi. Pengunjung yang datang tidak hanya dari Yogyakarta, tapi juga dari berbagai daerah lain di luar Yogyakarta.
Tricotado kelompok asal Yogyakarta membuka pertunjukan ini dengan alunan pop, jazz, sekaligus blues. Mereka berhasil membawa suasana kehangatan sampai ke kursi penonton yang tampak menikmati alunan musik yang mereka bawakan.
Suasana konser Ibadah Musikal 100 Hari Djaduk Ferianto di Yogyakarta. Foto: Fabian Yudhistira Suara Surabaya
Sardono W Kusumo seorang penari, koreografer, dan sutradara film menyampaikan pidato menarik tentang Almarhum Djaduk Ferianto. Dia menceritakan pengalamannya bersama Djaduk di Jepang, saat mendalami seni kontemporer lukis, teater, dan patung.
Saat itu, mereka tinggal satu apartemen dengan Bagong Kussudiardjo di Jepang. Ada kesan baginya selama tinggal bersama Djaduk di Jepang. Menurutnya, Djaduk tidak hanya mahir di berbagai bidang seni.
“Ternyata bapakmu tidak meninggalkan kesenian dan tanah padepokan saja buat kamu dan Butet, tapi juga ngorok,” katanya sembari mencontohkan suara ngorok yang dia maksud. Tapi seburuk-buruknya ngorok, kalau seniman yang mempraktikkan, hasilnya tetap nyeni.
Berikutnya, Kua Etnika kelompok musik yang dipelopori mendiang Djaduk Ferianto, Butet Kertaredjasa dan Purwanto sejak 1996 silam tampil. Mereka bawakan fusion jazz, tanpa meninggalkan unsur kedaerahannya.
Kua Etnika tampil sebagai band pengiring, bersama Tashoora. Kemudian setelah Tashoora, Syaharani muncul dan tampil bersama Kua Etnika. Syaharani membawakan komposisi fussion jazz yang diiringi irama gamelan bali.
Butet Kertaredjasa akhirnya bersuara menceritakan kisah-kisah magis bersama Djaduk Ferianto. Foto: Fabian Yudhistira Suara Surabaya
Setelah pertunjukan yang cukup menghipnotis penonton itu Butet Kertaredjasa akhirnya bersuara. “Sudah 100 hari sinau ikhlas, tapi tetap, “asu!” Enggak iso. Tiap latihan, datang ke kuburan, aku tetep mewek. Djaduk boleh pergi, tapi kita tetap mewarisi apinya, bukan abunya!” kata Butet.
Kua Etnika tampil bawakan 3 lagu. Salah satu komposisi berjudul ‘Ngentapke’ atau menghantarkan membawa penonton dalam alunan syahdu dibalut gamelan Bali dan gendang Jawa.
Silir vokalis Kua Etnika bilang, mereka akan tampil di Cape Town Jazz Festival 2020 pada Maret mendatang. Kembali Silir mengantarkan suasana sedih ke sekujur kursi penonton dengan mengatakan, Djaduk pasti bahagia mendengar itu kalau masih ada.
Kua Etnika menutup penampilan dengan komposisi Angin Gunung yang sengaja dibuat spesial untuk djaduk di acara ini. James F Sundah hadir sebagai special guest, karena tidak ada di list penampil. Tampil bersama Kua Etnika membawakan komposisi lilin-lilin kecil, dia mengajak penonton menyalakan flashlight di handphone masing-masing.
James yang tinggal di Amerika Serikat sengaja datang ke acara ini. Dia ceritakan, Djaduk sering menginap di rumahnya saat tampil di AS. “Indonesia ini kaya, yang kayak gini ini, sekelas Beyonce enggak bisa niru.”
Berikutnya, Ricad Hutapea tampil dengan tenor Saksoponnya, masih diiringi Kua Etnika. Ricad yang alumnus IKJ yang sudah sering tampil di ajang festival bergengsi nasional dan pernah berkolaborasi dengan Tohpati, Indro Hardjodikoro dan banyak musisi lainnya.
Soimah Pancawati juga tampil. Dia menyanyi dalam irama swing berpadu campursari. Masih diiringi Kua Etnika dan Ricad Hutapea, Soimah merasa bangga bisa tampil di acara ini. “Saya enggak mau banyak ngomong karena takut nangis. Satu kata saja, Pak Djaduk ‘Asu Tenan’. Karena Pak Djaduk senang dikatai begitu,” katanya.
Endah Laras juga tampil “magis.” Penyinden itu tampil dengan busana adat Jawa lengkap, diiringi lirih gamelan dan irama swing dan blues, membawakan komposisi ‘Bulan Andung Andung’.
Setelah penampilan Highlight Ngayogjazz 2019, Butet tampil. Dia menceritakan Teater Gandrik, dimana tahun 2018, adalah tahun misteri.
“Saya menampilkan tiga lakon tahun kemarin, dan ketiga lakon itu setting-nya Kuburan. Tidak ada firasat apa-apa, ternyata malah Djaduk duluan yang dipanggil daripada saya yang sering ‘kepathil’ jantungnya.”
Salah satu peninggalan Djaduk, kenang Butet, adalah sebuah komposisi terakhir sebelum Djaduk wafat, yang ditemukan Almarhum ketika mereka sedang berada di Afrika Selatan.
“Waktu itu belum ketemu melodinya, saat saya dan Djaduk, kami berdua jalan berdua di Table Mountain Afrika Selatan. Tiba-tiba Djaduk teriak ‘wis ketemu melodine‘.”
Saat itu juga Djaduk bersiul lewat voice record di handphone-nya. Setelah kembali ke Indonesia, November 2019 lalu, Djaduk meninggal dunia.
Butet pun meminta Petra, istri Djaduk untuk mencari password ponsel Djaduk demi mengambil siulan melodi yang ada di ponselnya. Melodi itu diperdengarkan di tengah pertunjukan Teater Gandrik. Tidak kurang membawa efek yang sangat magis.(hen/den/ipg)