Sabtu, 23 November 2024

Ekonom: Pemerintah Harus Revisi APBN 2020 Hadapi Wabah Virus Corona

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Dradjad Hari Wibowo Ekonom Senior INDEF. Foto: dok/Faiz suarasurabaya.net

Dradjad Hari Wibowo Ekonom Senior INDEF mengatakan, tanpa wabah corona virus (COVID-19), pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 banyak diyakini akan melambat di bawah 5 persen. Sebagian besar ekonom yakin target pertumbuhan 5,3 persen dalam APBN 2020 akan meleset.

“Dengan wabah covid-19, jelas ekonomi makin melambat lagi,” ujar Dradjad kepada suarasurabaya.net, Kamis (20/2/2020).

Dradjad yang juga Lektor Kepala Perbanas Institute ini menjelaskan, negara tetangga seperti Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhannya dari 1,5 persen dengan selang 0,5-2,5 persen, menjadi 0,5 persen dengan selang -0,5 s/d 1,5 persen.

“Ini pemangkasan yang sangat signifikan karena mencapai dua per tiga dari proyeksi awal. Lebih signifikan lagi, Singapura memasukkan resesi ke dalam skenarionya,” jelasnya.

Sedang untuk Indonesia sendiri, kata Dradjad, Pemerintah belum melakukan revisi asumsi APBN 2020. Menurut dia, revisi ini perlu dilakukan karena asumsi pertumbuhan APBN diyakini bakal meleset.

Dradjad mengajak untuk melihat beberapa skenario, diantaranya Indonesia sama sekali tidak terkena wabah covid-19. Indonesia terkena dampak langsung melalui perdagangan dengan China.

Hingga September 2019, impor Indonesia dari China sekitar USD 32,3 miliar, dengan ekspor USD 18,4 miliar. Nilai tahunannya sekitar USD 43-45 miliar impor dan USD 23-25 miliar ekspor. Defisitnya sekitar USD 20-22 miliar.

“Yang kita impor antara lain mesin-mesin, pesawat mekanik, kendaraan, spare parts, plastik, barang dari plastik, besi, baja dan benda-benda dari besi baja, perabotan dan penerangan rumah, mesin dan peralatan listrik, bahan kimia hingga tekstil dan produk tekstil seperti pakaian jadi dan lainnya,” kata Dradjad.

Karena karantina dan peliburan pegawai, pabrik-pabrik di China tutup selama berminggu-minggu, maka kata Dradjad, produksi di China jelas terhenti sehingga mengganggu rantai suplai ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Efeknya, barang-barang impor deri China menjadi langka dan harganya pun mahal.

“Jelas ini akan mengganggu produksi Industri nasional. Inflasi pun akan naik sementara daya beli konsumen terganggu karena harga jadi mahal. Pasar Tanah Abang, misalnya, bisa ikut terdampak,” tegasnya.

Lalu dari sisi ekspor, menurut dia, Indonesia menjual ke China beragam produk mentah, primer dan industri seperti karet, barang dari karet, tembaga, kayu dan barang dari kayu, ikan, udang, kapas, lemak dan minyak nabati hingga alas kaki, plastik dan barang plastik, bijh, kerak dan abu logam, pulp, kertas dan karton, bahan dan produk kimia dan sebagainya.

Karena ekonomi China anjlok, permintaan terhadap barang-barang di atas juga anjlok.

“Kita bisa melihat mulai dari petani hingga industri besar bakal terdampak. Itu dampak langsung melalui perdagangan. Belum lagi melalui pariwisata dan investasi,” ujar Dradjad.

Jika Indonesia ikut terkena wabah, kata Dradjad, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bakal semakin besar defisitnya. Produksi dan konsumsi semakin terpukul karena karantina sangat merusak lalu lintas barang dan orang. Pariwisata domestik juga terpukul. Belanja pemerintah dan aktifitas pembangunan bakal terganggu. Di sisi lain, kapasitas rumah sakit terbatas sementara keuangannya terganggu tunggakan BPJS.

“Sekarang saja masker sudah langka dan mahal. Bagaimana dengan kondisi obat-obatan, perlengkapan medis dan tempat tidur rumah sakit jika Indonesia terkena wabah? Jelas akan sangat berat dampaknya,” imbuh Dradjad.

Tapi, Dradjad menegaskan, untuk saat ini semua negara di luar China masih memakai skenario “tidak terkena wabah”. Singapura yang menjadi negara dengan jumlah kasus terbesar di luar China juga masih memakai skenario “tidak terkena wabah”.

“Jadi, dengan asumsi Indonesia tidak terkena wabah, yang realistis proyeksi pertumbuhan adalah 4,3 – 4,8 persen,” kata Dradjad.

Dengan uraian di atas maka menurut Dradjad, yang penting dilakukan adalah secara intelijen dan keamanan, wabah COVID-19 dari China ini sudah menjadi ancaman terhadap hankam nasional.

“Jadi pemerintah perlu memperkuat semua lini pertahanan, khususnya sektor kesehatan dan rumah sakit, agar kita tidak terkena wabah. Kalau kasus sporadis memang tidak bisa dihindarkan. Tapi kampanye cuci tangan, menjaga kebersihan dan sebagainya perlu digencarkan. Rumah sakit perlu dibantu agar alkes nya tercukupi. Jangan malah terbebani tunggakan BPJS. Tujuannya, jangan sampai Indonesia terkena wabah,” tegasnya.

Selain itu, Pemerintah perlu mengambil kebijakan kongkrit untuk meminimalisasi dampak wabah covid-19 di China. Satu diantaranya adalah melalui revisi APBN 2020 agar asumsi dan posturnya kredibel.

“Bagaimana pelaku usaha percaya pemerintah bisa memberi insentif fiskal dan sebagainya jika mereka malah meyakini penerimaan APBN bakal jeblok lagi?” kata Dradjad.

Dradjad menegaskan, Pemerintah perlu fokus pada instrumen yang memang dibawah kendali pemerintah dan efektif. Misalnya melalui belanja APBN yang bisa menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga.(faz/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs