Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah mengakui, penggunaan media sosial terutama oleh pejabat pemerintahan tidak semudah yang dibayangkan. Penuh dengan risiko kritik dari publik.
Ganjar menyebut, itu dikarenakan saat ini terjadi tren komplain, seiring dengan kemudahan publik menyampaikan aspirasi melalui platform digital.
Tren komplain tersebut semakin naik karena desakan dari masyarakat yang ingin mendapatkan respon yang cepat. Untuk itu, ia memanfaatkan media sosial menjadi salah satu platform digital paling mudah, meski penuh risiko dengan kritik yang juga semakin banyak.
“Saya lebih suka di Medsos, meski risiko bullying dan kritik di dunia digital juga semakin besar. Longsor di mana, banjir di mana, saya tweet dan retweet. Di-bully kayak apa biarin wes, pokok saya kasih tahu ada banjir sekarang di sini,” kata Ganjar Pranowo saat menerima kunjungan Suara Surabaya Media di Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, Senin (17/2/2020) siang.
Ia mengakui bahwa setiap hari saat waktu longgar, ia selalu membuka Twitter untuk mengecek dan membalas setiap laporan masyarakat tentang suatu kasus kepadanya. Twitter dipilih karena dianggap paling cepat untuk mengakses informasi dan merespon keluhan. Hal itu menurutnya, menjadi hal yang juga harus dimanfaatkan oleh pejabat pemerintah lainnya untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat.
“Setiap hari saya menjawab, everytime. Saya lebih suka membuka Twitter. Siapa sih orang yang sekarang berbicara dengan saya, saya cek. Semua OPD punya Twitter mostly centang biru,” ujarnya.
Meski banyak kritik, lanjutnya, pejabat pemerintah tidak harusnya “baper” dan menanggapi cacian dengan marah-marah. Begitu juga dengan komunikasi dengan sesama aparatur pemerintahan, tidak seharusnya saling menutup-nutupi informasi.
Ia menyontohkan peristiwa banjir yang sempat terjadi perdebatan antar warganet yang seharusnya dapat disikapi secara bijak oleh pejabat pemerintahan.
“Gak usah pakai marah-marah kita respon, gak usah jaim-jaim ketika ada banjir seperti di Surabaya, Jakarta. Ya, kita terima. Kita mau apa, debet airnya segitu. Kita kurang persiapan, mungkin. Mencoba mendengarkan, belajar menerima cacian, makian, tidak usah baper,” ujarnya.
Selain menjadi alat komunikasi massa paling cepat, media sosial bagi Ganjar juga untuk melakukan edukasi politik dengan bahasa yang paling mudah dipahami masyarakat.
Menurutnya, selama ini masyarakat lebih suka menyampaikan keluhan langsung kepada gurbernur, tapi kurang memahami alur birokrasi yang harus dilalui. Dan ini dikarenakan bahasa yang dilontarkan para pejabat pemerintahan yang kurang membumi, sehingga masyarakat kurang memahami apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintahan serta sistem kerja birokrasinya.
“Saya sedang melakukan perecehan perbincangan politik, karena yang tinggi-tinggi tidak bisa dipahami (masyarakat, red),” ujarnya.
Selain itu, laporan masyarakat yang masuk melalui media sosial sekaligus dijadikan Ganjar Gubernur untuk mengevaluasi kinerja birokrasi yang tidak berjalan optimal.
“Ada struktur di bawah, jadi saya bisa cek berjalan apa tidak. Karena menurut survei, ada lurah, camat, bupati, gurbernur, paling tinggi (melaporkan) ke gurbernur karena dianggap paling cepat,” kata Gubernur Jateng dua periode tersebut.(tin/iss)