Prof Dr rer nat Fredy Kurniawan MSi., guru besar bidang Kemo dan Biosensor akan resmi dikukuhkan oleh ITS, Rabu (12/2/2020) mendatang, ingin membantu manusia dalam bidang deteksi dan analisis pada objek yang diaplikasikan di berbagai bidang.
Dalam orasi ilmiah pengukuhannya, dosen kimia ini menjelaskan bahwa Kemo dan Biosensor memiliki fungsi untuk mendeteksi analat atau target dengan cara memberikan sinyal.
Perbedaan keduanya hanya terletak pada keterlibatan komponen biologi atau tidak. “Jadi fungsinya untuk men sensing sesuatu, targetnya bergantung pada kasusnya,” terang Fredy Kurniawan.
Guru Besar ITS ke 124 ini menyebutkan enam penelitian dalam orasi ilmiahnya, yaitu indikator titik beku, sensor glukosa, sensor dopamin, sensor sukrosa, sensor gelatin babi, dan juga sensor kepedasan.
Pria yang akrab disapa Fredy ini mengungkapkan bahwa sebenarnya masih banyak penelitian lainnya, tetapi yang disebutkan memang hanya enam penelitian itu saja.
Pada penelitiannya mengenai indikator titik beku, Fredy mengatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk mengatasi masalah penyimpanan vaksin polio. Vaksin polio harus tersimpan pada temperatur antara 0 – 10 derajad Celcius. Di luar temperatur tersebut, maka vaksin polio akan rusak.
Tak heran apabila penyakit polio di suatu daerah masih saja ditemukan meskipun telah ada program penyuntikan vaksin polio. “Vaksin dapat rusak ketika terjadi proses pemindahan, dan kerusakan itu (vaksin polio, red) tidak dapat dilihat dengan mata telanjang,” ujar Fredy.
Melihat hal tersebut, Kepala Departemen Kimia ITS ini membuat indikator yang dilekatkan pada vaksin saat penyimpanan.
“Vaksin yang belum rusak akan berwarna merah, jika sudah mengalami perubahan suhu warna merahnya akan menghilang yang menandakan vaksin sudah rusak,” jelas Fredy. Penelitian ini, lanjut Fredy memang sederhana, tetapi sangat bermanfaat.
Penelitian selanjutnya adalah sensor glukosa. Fredy mengatakan bahwa jika sensor glukosa pada umumnya menggunakan enzim. Akan tetapi kali ini berbeda, Fredy berhasil membuat sensor menggunakan material aktif berupa emas nanopartikel untuk mendeteksi glukosa. “Sensor dapat digunakan berulang kali dan dapat dibersihkan pada kondisi yang berat,” kata Fredy.
Selain itu, Fredy juga mengungkapkan ada penelitian tentang sensor dopamin. Menurut Fredy, mengetahui kadar dopamin sangat penting, karena kekurangan dopamin dapat menyebabkan kekacauan otak seperti parkinson atau skizofrenia.
Dopamin sendiri merupakan kelompok hormon katekolamin yang mempunyai fungsi penting pada saraf pusat, renal, dan hormonal, dan sistem kardiovaskular.
“Dopamin ini senyawa penting karena berfungsi untuk rasa bahagia dan positif, untuk mendeteksi tinggi rendahnya bisa melalui darah maupun urin,” kata Fredy.
Tak hanya di bidang medis, Fredy juga berhasil ciptakan sensor sukrosa yang ditujukan untuk bidang pertanian. Sukrosa dapat kita temui sehari-hari, seperti gula di dapur yang biasanya terbuat dari tebu.
Dalam proses pembuatannya, untuk tebu sampai ke pabrik harus diukur dan dihitung terlebih dahulu kandungan sukrosa di dalamnya. Karena petani tidak dapat mengukur kadar sukrosa, mengakibatkan harga gula selalu ditetapkan oleh pabrik.
“Saat itu saya berpikir bagaimana caranya kita punya sensor yang mudah digunakan oleh petani, jadi mereka tidak akan mudah dibohongi,” ujar Fredy. Bersama timnya telah membuat sebuah biosensor untuk sukrosa dengan melibatkan enzim invertase. “Dengan hanya meneteskan sampel tebu pada ujung sensor, kandungan sukrosanya akan langsung terukur,” papar Fredy.
Tidak hanya itu, Fredy juga berhasil temukan alat pendeteksi gelatin babi, yang mana saat ini gelatin babi banyak beredar di masyarakat.
“Pembacaan dengan alat yang kami buat hanya dengan melihat pergeseran frekuensi, di mana frekuensi yang positif atau naik mengindikasikan adanya materi babi pada sampel, dan frekuensi negatif atau urun menunjukkan adanya kandungan materi dari sapi pada sampel,” jelas Fredy.
Fredy juga menciptakan sensor kepedasan, dan dalam penjelasannya tingkat kepedasan pada cabai berbeda-beda, sehingga Fredy pun berinovasi menciptakan sensor untuk mengetahui kadar kepedasannya.
“Tim kami telah berhasil membuat sensor kepedasan yang berbasis emas termodifikasi yang mampu menggantikan indera perasa manusia untuk mengukur rasa pedas pada cabai,” urai dosen yang mendapat gelar doctor rerum naturalium (Dr.rer.nat.) dari Regensburg University, Jerman.
Melalui berbagai inovasinya tersebut, Fredy ingin membuat produk-produk yang lebih terjangkau di masyarakat dan dapat bermanfaat untuk banyak orang.
“Meskipun masyarakat mengenal saya, tetapi saya merasa penelitian saya belum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” pungkas Fredy saat ditemui di Departemen Kimia ITS, Senin (10/2/2020).
Fredy menyampaikan bahwa kebahagiaan seorang peneliti sebenarnya adalah ketika produk penelitian yang mereka hasilkan dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain dan memberikan nilai lebih bagi mereka.(tok/ipg)