Sabtu, 23 November 2024
Studi Banjir Pakar Geologi Pusat Studi Bencana ITS

Pakar: Kini Hulu Hanya Mampu Menyerap 20 Persen Air ke Dalam Tanah

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada 1 Januari 2020 lalu. Foto: dok./Faiz suarasurabaya.net

Banjir yang selalu menjadi momok menakutkan setiap musim hujan seolah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Apalagi, air yang mengalir dari hulu ke hilir tidak hanya membawa air, namun juga tanah yang menyebabkan sedimentasi dan membuat sungai semakin hari semakin dangkal.

Amien Widodo Pakar Geologi Pusat Studi Bencana ITS menyarankan agar segera dilakukan reboisasi atau penanaman hutan kembali. Caranya dengan mengkhususkan sebagian wilayah di pegunungan menjadi kawasan hutan tersendiri, yang berfungsi hanya untuk penyerapan air hujan. Bukan sebagai hutan produktif.

“Kalau usulan saya, harus ada hutan khusus tidak boleh dicampur. Di bawahnya kawasan campuran ada hutan, ada pemukiman, dengan syarat khusus pemukiman harus membuat sumur resapan. Kemudian ada kawasan pemukiman namun dengan pengawasan ketat. Sedimentasi harus dicegah, caranya, ya, dihutankan,” kata Amin kepada Radio Suara Surabaya, Senin pagi (27/1/2020).

Menurutnya, permasalahan banjir dapat dibagi menjadi dua, yakni masalah resapan air di hulu dan masalah penggunaan air berlebih di hilir.

Permasalahan Banjir di Hulu

Jauh sebelumnya saat hujan tiba, hutan mampu menyerap hingga 80 persen air hujan. Kebanyakan, air hujan tersebut diserap oleh pohon-pohonan kayu dan dedaunan yang berada di dasar hutan yang memiliki ketebalan hingga lebih dari satu meter.

Setelah meresap ke dalam tanah, air tersebut akan menjadi mata air bagi sungai yang ada dibawahnya. Sedangkan 20 persen air sisanya akan mengalir langsung ke hilir.

“Terus dia (air resapan hujan) nanti akan keluar menjadi sumber (mata air), bisa tahan sampai satu musim. Perubahan pokoknya disana. Air itulah yang mengisi air tanah di gunung, dan kita bisa manfaatkan air tanah itu menjadi air bersih,” paparnya.

Namun, karena banyaknya penggundulan hutan dan aktivitas di kawasan pegunungan, berimbas pada kurangnya daerah resapan air di pegunungan. Akhirnya, kondisi besaran air hujan yang bisa diresap berbanding terbaik.

Yang awalnya kawasan hulu dapat meresap 80 persen air hujan, saat ini hutan mengalirkan kembali 80 persen air hujan ke sungai, dan hanya mampu menyerap sekitar 20 persen ke dalam tanah.

Terlebih lagi, 68 persen dari 80 persen air yang dialirkan tersebut tidak hanya membawa air, namun juga tanah yang menyebabkan sedimentasi. Alhasil, terjadi pendangkalan sungai karena erosi tanah yang intens.

Permasalahan Banjir di Hilir

Dengan adanya pendangkalan sungai, maka jumlah volume air yang bisa ditampung oleh sungai menjadi berkurang. Akibatnya, saat hujan deras tiba, sungai menjadi mudah meluap dan menyebabkan banjir.

Banjir semakin parah karena hujan kiriman dari hulu yang tidak lagi menyerap air hujan sebanyak sebelumnya.

“Sebanyak 68 persennya membawa tanah, mengerupsi tanah dan akan membuat sungai makin dangkal, makin dangkal. Sehingga volume kapasitas makin kecil, makin kecil, lalu tumpah. Apalagi di pinggir sungai ada rumah lagi, jadi saluran mengecil dan kacau semua,” papar Amin.

Masalah lainnya, jumlah pengambilan air berlebih oleh masyarakat di kawasan hilir, yang tidak sebanding dengan jumlah air yang tersedia. Hal ini mengakibatkan tanah menjadi ambles, dan resiko tingginya genangan air saat banjir tiba.

“Di hilir itu ada pengambilan air tanah yang berlebihan. Maka yang terjadi amblesnya tanah. Tanah turun secara perlahan-lahan, turun terus. Di Jakarta itu misalnya, makanya dimonitor terus. Tidak tahu kalau disini,” ujarnya.

Ia menegaskan, bahwa masyarakat harus menyadari bahwa jumlah air di suatu kawasan itu berjumlah tetap. Sehingga dalam penggunaanya hanya diperhitungkan secara matang. Dalam membentuk kawasan perkotaan, pemerintah seharusnya memperhitungkan ketersediaan air dan jumlah masyarakat yang menduduki kawasan tersebut.

Meski begitu, lanjut Amin, tidak ada kata “telat” untuk melakukan pembenahan. Semua elemen dari masyarakat dan pemerintah harus bersinergi untuk melakukan perbaikan demi kebaikan bersama.

“Kita tidak boleh ngomong terlambat. Regulator harus membuat aturan dan pelaksanaan yang jelas. Rumahnya kalau dianggap terlalu melebar, kalau ada kebijakan rumah susun atau apartemen memang harus diberlakukan, ya diberlakukan. Karena harus ada tempat-tempat resapan air,” tutupnya.(tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs