Jumat, 22 November 2024

Asal Usul Tradisi Nyadran dan Berbagi Kue Apem Jelang Ramadhan

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Gunungan kue apem di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya saat kegiatan "Megengan Kubro", Jumat (3/5/2019). Foto: Abidin suarasurabaya.net

Menyambut bulan suci Ramadhan, mayoritas masyarakat di Jawa Timur mengadakan kegiatan Nyadran dan membuat kue apem yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada tetangga maupun keluarga. Bahkan pada Jumat (3/5/2019) kemarin, Pemerintah Kota Surabaya dan Pemprov Jatim menggelar “Megengan Kubro” di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dengan membagikan 21 ribu kue apem. Lalu, dari mana tradisi itu berasal dan bagaimana bisa menjadi tradisi tiap tahunnya?

Dwi Cahyono Budayawan menjelaskan, kata Nyadran berasal dari kata Jawa Kuno dan Tengahan yakni “serada” atau “seradaan”, yang merupakan upacara besar setelah 12 tahun kematian anggota keluarga atau leluhur, dalam bentuk menziarahi makam.

Menurut budayawan sekaligus pengamat sejarah Universitas Negeri Malang tersebut, ritus tentang penghormatan kepada arwah adalah budaya asli Nusantara dari zaman pra sejarah. Namun pada perkembangannya, ritus dalam tradisi ini dipengaruhi budaya dari India saat persebaran agama Hindu di Indonesia.

Kegiatan Nyadran memang tidak terlepas dari kegiatan mendatangi makam, mendoakan dan meminta kepada leluhur. Namun seiring perkembangan Islam, Nyadran adalah kegiatan berziarah ke makam menjelang Ramadhan, yang dilakukan secara setiap tahun jelang dimulai dan berakhirnya bulan Ramadhan.

“Biasanya ada nazar dalam Nyadran, jika permintaannya kepada leluhur dikabulkan, maka mereka akan melakukan ini itu, seperti janji yang diberikan kepada arwah. Namun dalam konteks Ramadhan bukan seperti itu, tapi berziarah ke kubur untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal, yang berlangsung periodik setiap tahun, yakni menjelang Ramadhan dan menjelang Syawal (Idul Fitri, red),” kata Dwi Cahyono kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (4/5/2019).

Menurut Dwi, pergeseran ritus dalam Nyadran juga banyak dipengaruhi perkembangan agama Islam di Jawa. Nyadran sendiri, lanjutnya, bisa dikatakan sebuah kesibukan-kesibukan sebelum bulan puasa. Selain berziarah ke makam, masyarakat Jawa juga memiliki tradisi kuliner yakni saling bertukar kue apem.

Kata “apem”, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dwi, berasal dari kata “appam”, sebuah kue yang banyak dihidangkan dalam tradisi-tradisi tertentu di Gujarat, bagian barat India. Kue apem dibuat bukan ditujukan untuk dimakan sendiri, tapi untuk dibagi-bagikan atau saling dipertukarkan kepada tetangga atau keluarga. Tradisi kuliner ini akhirnya berkembang di Indonesia yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadhan.

“Ini tanda kuliner menyambut Ramadhan, selain petanda yang lain seperti ritual ziarah kubur. Ada juga yang masih melakukan tradisi mandi di sungai atau di sumber mata air dan sebagainya sebagai petanda yang lain,” tambahnya.

Namun diantara tradisi tersebut, lanjut Dwi, pertanda yang sangat penting di masyarakat yang menjadi tanda akan masuk bulan Ramadhan adalah dengan membunyikan beduk bertalu-talu. Hal ini menjadi pertanda yang paling banyak masih ada di mayoritas daerah di Jawa Timur hingga saat ini.

“Salah satu pertanda adalah dibunyikan beduk secara bertalu-talu, maka dengan begitu menjadi sebuah tanda bahwa besok akan masuk bulan Ramadhan,” ujar Dwi.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs