Sikap Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang tidak mau bersikap atas perilaku RRC di Laut Natuna Utara karena takut mengganggu investasi RRC di Indonesia, mengingatkan saya pada peristiwa 1997/1998.
Saat itu, ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi yang menjadi krisis sosial politik, ada dua menteri dalam rapat kerja di Komisi APBN dan Keuangan DPR-RI yang menolak anjuran saya agar melakukan moratorium utang luar negeri, termasuk melakukan penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok dan bunga.
Justru setelah reformasi, menteri-menteri yang beraliran fundamentalis pasar bebas malah makin keranjingan meminjam dan membuka pasar domestik seluas-seluasnya bagi kepentingan asing.
Di era Megawati, kebijakan pro asing itu diterjemahkan dengan menjual aset-aset strategis sebagai pelaksanaan program restrukturisasi perbankan (baca: perekonomian) atas perintah IMF dan “anjuran” Bank Dunia.
Di era SBY, saat kenaikan BBM terjadi pada 1 Maret dan 1 Oktober 2005, saya mendapatkan bukti perjanjian antara Bank Dunia dengan Menteri Keuangan RI. Bank Dunia meminta agar subsidi BBM dicabut sebagai syarat cairnya pinjaman. Boediono Menteri Keuangan menyetujui.
Sebelumnya, terjadi bantuan dari USAID yang syaratnya melakukan liberalisasi di sektor migas. Syarat ini kemudian menjadi UU Migas dan UU Ketenaga Listrikan yang isinya memberlakukan mekanisme pasar pada BBM dan tarif listrik. Dua UU ini digugat di Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pada 15 Desember 2004 UU 20/2002 tentang Ketenaga Listrikan dibatalkan. Pemerintah kemudian mengajukan lagi UU sejenis. Sayangnya, MK pada 2016 hanya membatalkan sebagian sehingga listrik sebagai hajat hidup orang orang justru tunduk pada mekanisme pasar.
Sementara UU Migas No.22/2001 beberapa isinya digugat yang akhirnya berujung pada pembubaran BP Migas. “Dimatikannya” tidak membuat Pemerintah berputus asa, malah hadir SKK Migas. Demikian juga dengan pembatalan UU Sumber Daya Air, regulasi tentang Badan Hukum Pendidikan, dan UU Koperasi. Termasuk upaya membatalkan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU No.24/199 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Pembayaran yang gagal pada Maret-April 2015. Dua UU ini merupakan jantung kapitalisme sebagai anak kandung materialisme. Singkatnya, semua regulasi dan perundang-undangan itu menunjukkan adanya kepentingan asing yang diakomodasi penguasa dalam regulasi perundang-undangan kita.
Di era Joko Widodo-Jusuf Kalla, kepentingan asing juga terlihat. Kasus-kasus ekspor nikel, bebas visa (visa on arrival), diperkenankannya asing masuk ke berbagai sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan dan pariwisata, menunjukkan jargon Trisakti tinggal kata-kata tanpa makna.
Kata-kata Bung Karno, go to hell with your aid, mati tanpa jelas di mana makamnya karena terstruktur, sistematis dan masifnya kekuatan asing pada kedaulatan ekonomi bangsa.
Dominannya asing di investasi portofolio, misalnya, membuat Sri Mulyani Menteri Keuangan sendiri mencium sesuatu yang kurang sehat. “Saya sebenarnya ingin domestik menguasai pasar obligasi,” kata Sri Mulyani saat ditanya wartawan tentang asing yang menguasai sekitar 40 persen dari total obligasi.
Bahkan Joko Widodo di penghujung 2019 (setelah berkuasa Oktober 2014 – Oktober 2019) berniat mengatasi defisit neraca berjalan dan menghentikan rejim impor sebagai akibat kebijakan liberalisasi berbagai sektor ekonomi.
Silang pendapat tentang aman tidaknya investasi asing dan utang luar negeri terus berkepanjangan.
Pemerintah berpendapat bahwa utang luar negeri Indonesia masih dalam posisi aman saat melihat ukuran utang dibanding produk domestik bruto. Menurut Statistik ULNI yang diterbitkan BI pada Desember 2019, rasio itu mencapai 36,3 persen.
Sementara saya sejak 2015 di hadapan para wartawan di Media Centre DPR menyebutkan, bahwa batas rasio adalah 30 persen sehingga posisi utang sudah di ambang batas kuning (risiko sedang – medium risk) dan pasti menuju ke merah (risiko tinggi – high risk). Bukan hanya Pemerintah, sejumlah wartawan pun terperangkap dengan pola pikir Bank Dunia tentang rasio-rasio utang dan kebijakan globalisasi. Saya mungkin tidak mengerti pola dan orientasi berpikir kaum fundamentalis globalisasi (free trade, free markert, financial liberalization) ini. Tapi dengan merujuk pola pikir “bejana berhubungan” dan hukum Archimedes, maka tekanan globalisasi akan melahirkan tekanan lawan, seperti besarnya kapal tanker yang menekan perairan di lautan, akan tetap mengambang karena tekanan lawan dari lautan itu sendiri. Maka lahirlah keseimbangan sehingga tanker raksasa itu bisa berlayar mencapai pelabuhan tujuan. Itulah yang dilakukan Donald Trump saat berteriak make America great again, atau America First seperti yang dilontarkan Obama saat menghadapi krisis keuangan 2008-2011.
Ironinya, jika para pemimpin negara maju dalam menghadapi gejolak ekonomi global melakukan pembelaan atas kepentingan dalam negerinya (saya menyebutnya dengan melakukan kebijakan deglobalisasi, inward looking), Indonesia tetap “asyik menikmati” perencanaan dan pelaksanaan kebijakan globalisasi (outward looking) yang berintikan utang luar negeri dan investasi asing, seperti basis kebijakan Sustainable Development Goals. Sikap LBP, Sri Mulyani, Nadiem Makarim, beserta beberapa menteri lainnya dan Bank Indonesia tidak akan berkutik menghadapi serangan globalisasi.
Padahal jika mempelajari sejarah perekonomian Indonesia, baik pada saat VOC menjajah beberapa kerajaan di nusantara, maupun pada saat kejatuhan Soekarno, jatuhnya Soeharto, dan makin rentannya perekonomian domestik sejak era reformasi hingga saat ini, maka kebebasan perdagangan dan perusaahaan asing, utang luar negeri serta investasi asing itu pada hakitanya adalah lima “I”. Yakni, intervensi (campur tangan asing atas berbagai kebijakan), infiltrasi (penyusupan melalui kebijakan dan orang), intimidasi (mengancam dengan indikator-indikator akademik, bahkan anjuran-anjuran yang memaksa), invasi (terbuka maupun terselubung) dan inflasi.
Dalam kasus Uyghur muslim, misalnya, RRC telah melakukan infiltrasi dengan senyap yang kemudian diberitakan media Wall Street Journal. Sikap RRC ini sebenarnya sekadar meniru yang dilakukan Barat dan Jepang sebelumnyta terhadap Indonesia (multilateral maupun bilateral).
Para pendiri republik memahami hal ini dengan arif dan bijaksana sehingga mereka bertekad mendirikan NKRI dan mempertahankannya dengan membebaskan bangsa atas lima “K” (bebas dari ketertindasan dalam segala bentuknya, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan dengan segala maknanya, bebas dari ketimpangan yang bermuara pada ketidak adilan, dan bebas dari kehinaan sebagai wujud kedaulatan negara adalah tegaknya harkat martabat bangsa).
Jika kita terus menikmati lima “I”, maka merujuk tekad lima “K” itu, bangsa Indonesia bukan saja belum merdeka. Tapi juga menjauh dari semangat perjuangan kemerdekaan, nilai-nilai UUD 1945, dan tekad dihormati dan dihargai di panggung pergaulan antar bangsa-bangsa dalam prinsip perdamaian dan stabilitas kawasan. Inilah indikasi bahwa kini kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara kualitatif memburuk.(*)