Sabtu, 23 November 2024

Suko Widodo: Kampus Tidak Mau Berurusan dengan Aksi 22 Mei

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Pernyataan sikap 18 Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kota Surabaya dan Madura, Senin (20/5/2019) di ruang Rektorat Kampus C Unair Surabaya. Foto: Totok suarasurabaya.net

Suko Widodo Ketua Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga (Uniar) Surabaya menegaskan, jika ada mahasiswa atau civitas akademika di Surabaya dan Madura yang mengikuti kegiatan aksi 22 Mei di Jakarta, maka sikap tersebut atas nama pribadi, bukan atas nama kelembagaan kampus.

Hal ini menanggapi penandatanganan sikap dari 18 Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kota Surabaya dan Madura, untuk menjaga persatuan dan mendinginkan suasana hangat pasca Pemilihan Umum (Pemilu).

“Kalau ada yang tetap berangkat ke Jakarta, itu sifatnya pribadi, bukan kelembagaan kampus. Berdasarkan penandatanganan pernyataan sikap tadi, kami sungguh-sungguh tidak mau berurusan soal 22 Mei ke Jakarta itu,” kata Suko kepada Radio Suara Surabaya, Senin (20/5/2019).


Penandatanganan 18 PTS dan PTS di Surabaya dan Madura. Foto: Totok suarasurabaya.net

Ia juga mengatakan bahwa aksi 22 Mei bukanlah salah satu forum ilmiah, sehingga tergolong kegiatan di luar kewenangan kampus.

Pihaknya juga telah melakukan menyampaikan hal tersebut kepada internal BEM khususnya BEM Unair, untuk mengimbau mahasiswa tidak mengikuti aksi 22 Mei pada saat pengumuman hasil pemilu oleh KPU di Jakarta.

Suko juga mengimbau kepada para mahasiswa untuk memfokuskan diri untuk belajar. Ia berharap mahasiswa tidak terpengaruh dan lebih bersiap menghadapi perubahan zaman dalam konteks global.

“Sejauh ini, BEM sepakat tidak mengambil sikap apa-apa (terkait aksi 22 Mei), mereka sedang sibuk menyiapkan ujian. Saya rasa kaum milenial Surabaya ini anaknya lebih rasional, mereka memikirkan hal yang lebih besar daripada ini,” tambahnya.

Menurut Suko, selama 8 bulan terakhir banyak informasi yang menonjolkan narasi separasi. Narasi ini kemudian berujung dengan menghadap-hadapkan masyarakat dalam perbedaan. Sedangkan hal tersebut jauh dari nilai-nilai kebangsaan dan persatuan.

“Kita ini katanya sedang ada di era Simulacra, dimana orang nalarnya pendek karena tidak bisa menangkap kode-kode pesan yang banyak, akhirnya kita malas berpikir. Harusnya kita memandu narasi-narasi yang lebih bagus,” ujarnya.(tin/ipg)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs